: Ibu Kota Negara (IKN) sudah berpisah dengan Jakarta bersamaan dengan disahkan Undang-Undang (UU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) dan disusul Keputusan Presiden (Keppres) tentang Perpindahan (IKN) dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Pusat pemerintahan selanjutnya berada di ibu kota baru, Ibu Kota Nusantara (IKN) Kalimantan Timur (Kaltim).
Selanjutnya Jakarta sepenuhnya menjadi pusat bisnis Indonesia dan internasional. Menjadi megapolitan yang di sekelilingnya terdapat metropolitan-metropolitan dan kosmopolitan pada kota-kota penyangganya.
Akankah beban Jakarta selama ini dengan sendirinya berkurang atau bahkan berpindah ke IKN di Kalimantan Timur setelah perpisahannya dengan IKN. Menjadi tidak ada lagi horor-horor kemacetan setiap pagi dan sore terlebih saat turun hujan deras, apalagi kala terjadi genangan dan banjir.
Akankah transportasi publik yang selama ini nyaris tak tertanggulangi; menyesakan dan menjengkelkan kemacetannya menjadi lancar jaya bagai saat libur hari raya Lebaran.
Baca Juga: DKI Terima Penghargaan Sistem Transportasi Terintegrasi
Bakal tidak ada lagi momok macet dan buang-buang waktu berjam-jam di jalan terlebih saat terjadi banjir di beberapa ruas jalan. Bakal tidak ada lagi kerugian besar berupa dibakarnya begitu banyak BBM dan timbulnya polusi udara dari kendaraan yang seolah unjuk rasa berjam-jam di tengah jalan. Belum lagi kerugian semakin pendeknya masa berlaku spare part kendaraan yang saat terjebak di belantara macet tersebut.
Semua keluh-kesah berkait macet mengular di Jakarta selama ini hanya akan berkurang sebentar saja, saat beberapa kementerian dibedol ke Kaltim. Selanjutnya kembali ruas-ruas jalan di Jakarta terbelenggu macet parah apabila tidak ada langkah penanggulangan yang tepat sasaran.
Selama ini sejumlah kebijakan telah ditempuh dan dilaksanakan Pemda maupun pemerintah pusat. Sempat diberlakukan three in one, disusul ganjil-genap (gage). Bagaimana hasilnya. Hanya mengurangi sedikit kepadatan kendaraan saja. Itu pun terasa hanya sebentar saja. Berikut dan selanjutnya macet dan macet lagi menghantui pengguna jalan di Jakarta. Bahkan juga kota-kota penyangganya; Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cikarang (Bodetabekci).
Melihat kondisi rumit yang bisa jadi memendekkan umur itu, kemudian digalakkanlah transportasi massal dengan mengoperasionalkan lebih maksimal KRL, RLT, Transjakarta dan Jaklingko bahkan Biskita di beberapa kota penyangga Jakarta.
Hasilnya bagaimana. Untuk kereta api cukup memuaskan, di samping karena memang transportasi ini tidak mengenal macet-macetan. Tidak demikian dengan Transjakarta, Jaklingko dan Biskita, jauh dari memuaskan.
Transjakarta awal operasionalnya saja bagus. Selanjutnya jauh dari memuaskan seperti Jaklingko. Demikian pula Biskita, seperti di Kota Bekasi, kesannya justru berfungsi menyaingi Koasi. Bukan tampil menawarkan solusi atas problem lalu lintas atau transportasi yang membelenggu di Kota Bekasi. Penghasilan warga Bekasi yang bekerja di berbagai kantor atau kawasan di Jakarta nyaris seluruhnya tersedot untuk transportasi. Terutama bagi yang tidak menggunakan sepeda motor.
Transjakarta yang awalnya sekali naik/bayar dari Bekasi bisa keliling Jakarta sambung menyambung lewat koridor-koridor yang dilayani kini menjadi tidak bisa lagi atau sudah diputus di BNN (Cawang). Kehadiran Biskita juga hanya berbagi peran dengan Koasi. Akibatnya, naik Transjakarta kini melelahkan naik-turun. Ongkosnya tentu saja menjadi berlipat dan memberatkan masyarakat.
Baca Juga: Transportasi Terintegrasi, sebagaimana Didengang-dengungkan Pejabatkah Kenyataannya di Lapangan