: Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) mencatat sekitar 40 persen pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ditolak karena calon nasabah memiliki catatan yang buruk pada pinjaman online (pinjol).
Merespon hal ini, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Puteri Komarudin mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk cepat bertindak.
"Jumlah ini tentu sangat besar dan perlu segera ditindaklanjuti OJK. Karena pada beberapa kasus, ketika debitur sudah melunasi pinjol. Namun riwayat pada Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) belum juga berubah. Atau, justru ketika ada yang mau melunasi, tetapi malah perusahaan pinjolnya sudah tutup. Kasus-kasus seperti ini tentu perlu intervensi dari OJK. Khususnya dengan merapikan sistem pencatatan riwayat kredit nasabah,”ungkap Puteri kepada di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/8/2024).
OJK sendiri telah memiliki Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil) 2.0 yang menjadi sistem pencatatan ketika nasabah meminjam pada aplikasi pinjol.
Saat ini, sesuai Surat Edaran OJK Nomor 1 tahun 2024, OJK telah mengintegrasikan Pusdafil dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan yang sebelumnya hanya mencatat riwayat keuangan di perbankan.
Dengan begitu, SLIK kini juga mencakup data pinjaman nasabah pada pinjol.
“Jadi, kalau ada tunggakan di pinjol. Otomatis dampaknya pada SLIK juga buruk. Akibatnya, pihak bank akan ragu untuk menyetujui KPR. Tapi, kalau yang bersangkutan sudah melunasi, semestinya data di SLIK juga harus diperbaharui. Karenanya, OJK harus memastikan bahwa perusahaan pinjol telah mematuhi peraturan yang ada. Bahwa informasi kredit nasabah dilaporkan secara benar dan tepat waktu,” urai Puteri.
Lebih lanjut, Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI ini menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat terkait pengajuan pinjaman pada pinjol terutama tentang hak dan kewajiban, risiko, mekanisme pengaduan.
“Tidak hanya dampak dari pinjol yang belum sepenuhnya diketahui. Tetapi, masih banyak masyarakat yang juga belum bisa membedakan mana aplikasi yang resmi dan memiliki izin dari OJK. Serta, aplikasi pinjol mana yang ilegal. Tak hanya itu, banyak juga yang kebingungan kemanaharus melaporkan permasalahannya. Untuk itu, kegiatan sosialisasi perlu semakin digalakkansecara masif,” lanjut Puteri.
Puteri kembali menegaskan komit mendukung OJK untuk terus menindak dan memberantas aplikasi pinjol ilegal yang beroperasi tanpa izin dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Terlebih, sesuai UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSU) , entitas pinjol ilegal dapat dikenai sanksi pidana penjara hingga 10 tahun dan pidana denda maksimal Rp1 Triliun. ***