: Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia Prof Laksanto Utomo didampingi Ketua Bidang Advokasi APHA Yamin, menyampaikan pernyataan dukungan, terkait gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan penguasa.
Dukungan dan isi pernyataan APHA, tersebut disampaikan di sela-sela acara buka puasa bersama, di Kantor APHA, Jakarta Selstan, Senin (1/4/2024).
APHA menyebutkan Dalam Register Perkara Nomor 542/G/TF/2023/ PTUN.JKT telah diajukan gugatan perbuatan melawan hukum, yang dilakukan penguasa (onrechtmatige overdracht daad).
Baca Juga: 9 Lompatan Besar Kemnaker Respon Teknologi Digitalisasi yang Berimplikasi pada Ketenagakerjaan
Para pihak yang berperkara, yakni Penggugat atas nama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara serta Tergugat DPR RI dan Presiden RI.
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara mengajukan Surat Permohonan Pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat melalui Surat Nomor 019/PPMAN/VII/2023, pada 24 Juli 2023
Surat Pemohonan itu tidak ditanggapi dalam tempo 90 hari. Sehingga, menjadi obyek sengketa Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena dianggap telah membuat putusan penolakan (negative stelsel).
Baca Juga: Bukber dengan Anak Yatim Piatu, Iperindo : Kebutuhan SDM Industri Perkapalan Jauh Panggang dari Api
0adahal, operasional pengakuan dan penghormatan masyarakat adat Pasal 18 B ayat (2) UUD Tahun 1945, DPR RI dan Presiden RI telah beberapa kali menetapkan Draft RUU Tentang Masyarakat Adat.
Dalam prolegnas, antara lain sebagai berikut: Prolegnas Periode 2005-2009, dengan judul 'RUU tentang Hak-Hak Masyarakat Adat', dengan Nomor Urut 101; RUU tentang Pengakuan dan Penghormatan Masyarakat Adat dan Tradisinya, dengan Nomor Urut 273, berdasarkan Keputusan DPR RI Nomor : 01/DPR-RI/III/2004-2005 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009.
Prolegnas Periode 2009-2014, dengan judul 'RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat' dengan Nomor Urut 161.
Pada tahun 2013, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Proglenas Prioritas 2014, dengan Nomor Urut 26.
Pada tahun 2017, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Proglenas Prioritas, dengan Nomor Urut 45.
Prolegnas Periode 2020-2024, dengan judul 'RUU tentang Masyarakat Hukum Adat', dengan Nomor Urut 160.
Pada tahun 2020, RUU tentang Masyarakat Hukum Adat ditetapkan sebagai Proglenas Prioritas, dengan Nomor Urut 22.
Meskipun telah beberapa kali RUU Tentang Masyarakat Hukum Adat dengan beberapa kali perubahan nama, yang ditetapkan dalam prolegnas maupun prolegnas prioritas, tetapi sampai dengan saat ini belum disahkan.
Sehingga, tindakan administrasi pemerintahan yang tidak melaksanakan kewenangan konstitusionalnya. Dalam rangka mengakui dan menghormati masyarakat adat, dapat dikualifikasi sebagai Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad).
Baca Juga: Menaker Bahas Perempatan dan Pelindungan Pekerja Migran dengan Dubes Indonesia untuk Saudi
Karena, tidak melakukan tindakan pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat – penundaan berlarut.
Pembentukan Undang Undang tentang Masyarakat Adat selalu mengalami penundaan, sehingga tidak kunjung tuntas hingga saat ini.
Komitmen DPR dan Presiden pun, untuk menuntaskan dan mengesahkan RUU tentang Masyarakat Adat terbukti sangat rendah. Padahal, sudah masuk Prolegnas beberapa kali.
Ini merupakan bukti nyata, masyarakat hukum adat tidak pernah memperoleh perhatian serius dari Pemerintah. Ini adalah ironi, masyarakat adat yang lebih dulu ada sebelum berdirinya NKRI, justru terabaikan di tanah leluhurnya sendiri.***