: Tim kuasa hukum Pratiwi Hutomo (85), Dr Muhammad Ridho Hakiki, melaporkan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI ke Komisi Yudisial (KY) , karena diduga melanggar kode etik saat memutus perkara perkara kliennya .
Kliennya Pratiwi Hutomo, merupakan anak kedua dari Pahlawan Nasional dr. Raden Soeharto ( dokter pribadi Presiden Soekarno). Selain sebagai dokter pribadi, ayah Pratiwi Hutomo, yakni Raden Soeharto pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan.
Ia merasa tanah warisan Ayahnya seluas 77 Meter di Jalan Percetakan Negara VI Rawasari Cempaka Putih, Jakarta Pusat, telah disalahgunakan pihak - pihak tertentu. Sejak 2008 Pratiwi Hutomo telah menempuh secara hukum namun belum mendapatkan hasil.
Kuasa Hukum Pratiwi, Muhammad Ridho Hakiki didampingi Henry Apriyando, S.H., M.H., Mochamad Taufiqurrohman, S.H. mendaftarkan laporan pada staf pengaduan KY di Gedung Komisi Yudisial, Jalan Kramat Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2024).
Kini, Pratiwi tengah berjuang untuk mendapatkan tanah warisan ayahnya dari orang-orang yang mengaku sebagai pemilik. Di lahan seluas 77 M ini sekarang berdiri warung-warung kaki lima. Pedagang yang menempati mengaku menyewa pada Suparji, tanpa memiliki satu bukti yang sah.
“Ini kan aneh, dan patut diduga ada sesuatu yang janggal. Karenanya saya mengadukan kejanggalan kedua hakim di pengadilan itu ke Komisi Yudisial (KY).Kami minta KY menelaah dugaan kecurangan itu,” ungkap Ridho, usai melaporkan kedua hakim itu ke KY.
Ridho menyatakan laporan pengaduan kini telah diverifikasi , apakah memang benar ada pelanggaran kode etik, seperti yang dilaporkan.
Baca Juga: Komisi Yudisial Loloskan Puluhan Calon Hakim Agung
Ridho menjelaskan, dahulu, tanah tersebut merupakan bagian dari tanah yang lebih luas, yakni 1.160 meter persegi, namun menyusut akibat proyek pembangunan Jalan MH Thamrin pada masa Gubernur Ali Sadikin. Kini, tanah tersebut telah dikuasai pihak lain dan dibangun menjadi dua gubuk kecil yang digunakan sebagai warung.
Perjuangan kliennya ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga demi menjaga warisan dan kehormatan orangtuanya. Ia berencana menyerahkan tanah tersebut kepada masyarakat setempat untuk digunakan sebagai Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA), agar bisa dimanfaatkan untuk kegiatan sosial yang membawa manfaat bagi warga sekitar.
“Tanah itu akan digunakan untuk kegiatan sosial warga di sini supaya pahalanya mengalir terus ke orang tua kliennya,” ujar Ridho.
Namun, upaya Pratiwi untuk mendapatkan kembali haknya atas tanah tersebut menghadapi jalan buntu di pengadilan. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta sama-sama memberikan putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO), yang menyatakan bahwa tuntutan Pratiwi tidak dapat diterima. Padahal, Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa tanah tersebut adalah milik Dr. Raden Soeharto.