: CLDS Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan kegiatan bedah buku, di Jakarta, Minggu (6/10/2024).
Gelaran bedah buku itu terhadap buku berjudul 'Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Mengadili Perkara Mardani H Maming'.
Bedah buku itu berdasarkan hasil eksaminasi terhadap Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin Nomor 40/ Pid.Sus-TPK/2022/PN.BJM. jo Putusan Banding Nomor 03/Pid.Sus-TPK/2023/PT.BJM. jo Putusan Kasasi Nomor 3741 K/Pid.Sus/2023 Atas
terdakwa Mardani H. Maming
Perlu diketahui buku tersebut merupakan terbitan CLDS FH UIIbbekerja sama dengan
PTbRaja Grafindo Penerbit buku Rajawali.
Tim Eksamintaor buku itu terdiri dari ProfnDr Ridwan Khairandy SH MH (Ahli Hukum Perdata/ Hukum Bisnis); Dr Mudzakkir SH MH (Ahli Hukum Pidana); Prof Hanafi Amrani SH MH LLM PhD (Ahli Hukum Pidana);
Prof Dr Ridwan HR SH MH (Ahli Hukum Administrasi Negara);
Dan juga, Dr Eva Achjani Zulfa SH MH (Ahli Hukum Pidana dan Kriminologi); Dr Muhammad Arif Setiawan SH MH (Ahli Hukum Pidana); Dr Nurjihad SH MH (Ahli Hukum Keperdataan); Dr Mahrus Ali SH MH (Ahli Hukum Pidana dan Viktimologi); Karina Dwi Nugrahati Putri SH LLM. M Dev Prac (Adv). Kandidat doktor. (Ahli Hukum Perdata/ Hukum Perusahaan); serta Ratna Hartanto SH MH Kandidat doctor (Ahli Hukum Perdata/ Hukum Perusahaan);
Baca Juga: Menko PMK: Program Rusunawa Pemerintah Bangun Perumahan Pendidikan sekaligus Karakter Mahasiswa
Sementara para Pembicara/ pembedah sekaligus pembuat Legal Opini dan Amicus Curiae, terdiri dari Prof Dr Romli Atmasasmita SH LLM; Prof Dr Yos Johan Utama SH MHum; serta Prof Dr Topo Santoso SHb MH.
Setelah melakukan kajian hukum atas putusan PN, PT serta Kasasi dalam perkara korupsi atas nama Mardani Maming, serta setelah dilakukannya bedah buku, didapat kesimpulan sebagai berikut:
1. Terpidana Mardani Maming (MM) tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan penuntut umum.
Putusan Majelis Hakim
tingkat Pertama, Banding dan Kasasi dibangun dengan konstruksi hukum berdasarkan asumsi dan imajinasi saja, karena tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum serta tidak berbasis evidence/bukti yang tersampaikan di muka persidangan
2. Dakwaan/ tuntutan terhadap terdakwa tampak terlalu dipaksakan, karena fakta yang terungkap dalam persidangan tidak dilandasi bukti yang cukup bahwa terdakwa Mardani H Maming secara nyata penerimaan-penerimaan uang yang disangkakan kepada Terpidana ternyata adalah tagihan-tagihan perusahaan, yang didsari atas
perjanjian kerja sama sebagaimana putusan pengadilan Niaga yang telah inkrach.
3. Dakwaan yang dibangun adalah Pasal Suap, namun si pemberi suap tidak pernah
diperiksa baik tingkat penyidikan sampai persidangan. Karena tidak dapat dibuktikan meeting of mind (kesepakataan pembicaraan) antara pemberi suap Alm Hendry Setio kepada dan Terpidana Mardani H Maming, yang disangkakan kepada Terpidana maka kemudian Penuntut Umum menyatakan adanya 'kesepakatan diam-diam' yang secara
hukum tidak dikenal dalam ilmu hukum pidana.
4. Pasal 93 UU Pertambangan adresat larangan untuk mengalihkan itu adalah untuk
pemilik IUP OP bukan pada Pejabat, SK pelimpahan IUP OP yang di tanda tangani oleh Terpidana sebagai Bupati Tanah Bumbu adalah sesuai kewenangannya dan IUP OP tersebut sudah terlisesnsi Clear and Clean dengan kata lain IUP OP itu tidak memiliki
masalah hukum dan sudah memenuhi syarat administrasi.
5. Dapat dikemukakan bahwa, penuntut menghadapi kesulitan secara teknis hukum pembuktian bahwa telah terjadi pemberian hadiah kepada terdakwa karena terdakwa
telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
kwajibannya (menurut UU Pemerintahan Daerah dan UU Pertambangan).
6. Terdakwa dalam jabatan Bupati, atas delegasi wewenang dari Menteri Dalam Negeri
berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, diberikan kewenangan mengeluarkan izin
dalam hal permohonan IUP-dan tentu izin diberikan disebabkan adanya permohonan dari pemohon dan juga telah dilaporkan kepada Menteri dalam urusan pertambangan;
suatu kewajiban yang lazim dilakukan dalam sistem birokrasi.
7. Sekalipun quod non telah terbukkti terdapat pelanggaran atas UU sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan, akan tetapi keduabelas peraturan perUUan tersebut, adalah termasuk rumpun hukum Pidana Administrative. Sehingga, tidak tepat secara
hukum penerapan UU Tipikor terhadap pelanggaran administrative karena
bertentangan dengan ketentuan Pasal 14 UU Tipikor.
8. Poin 7 di atas diperkuat dengan Penafsiran ketentuan Pasal 14 UU Tipikor, baik penafsiran Historis, sistematis-logis maupun penafsiran telelologis, ketentuan
Pasal 14 UU Tipikor, bertujuan membatasi penafsiran hukum yang sangat luas di dalam penerapan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TIpikor.
9. Putusan Kasasi dalam perkara tipikor atas nama Mardani H Maming secara kasat mata telah mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dan telah memenuhi
alasan PK yaitu adanya keadaan baru yang diketahui akan tetapi tidak pernah disampaikan dalam pertimbangan putusan PN, PT, dan Kasasi, sehingga putusan Kasasi
seharusnya menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut tidak dapat diterima atau setidak-tidaknya hukuman terdakwa
dikurangi. ***