JAKARTA: Kejaksaan Agung menolak keras putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pimpinan M Sainal SH MH yang membebaskan dari segala dakwaan maupun tuntutan hukum terdakwa bekas Dirut Bank Swadesi yang kini bernama Bank Of India Indonesia (BOII) Ningsih Suciati SE. Selain dinilai tak sesuai bahkan bertolak belakang dengan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan, vonis bebas tersebut juga tak sesuai dengan tuntutan rasa keadilan pencari keadilan.
Penolakan Kejaksaan Agung itu dapat dilihat pada memori kasasi Kejaksaan Agung yang telah diajukan melalui JPU Maylani SH MH, Hodziqotul alias Olla SH MH. "Memori kasasi Kejaksaan Agung itu benar-benar sesuai fakta-fakta persidangan sekaligus juga memberitahukan kepada majelis hakim agung atau kasasi akan adanya dugaan kekeliruan/kekhilafan dilakukan majelis hakim tingkat pertama dalam memutuskan kasus perbankan atas nama Ningsih Suciati tersebut," kata Rita KK di Jakarta, Minggu (27/12/2020).
Perkara dugaan tindak pidana perbankan itu sebelumnya dilaporkan Direktur PT Ratu Kharisma, Rita KK, di Polda Bali sampai akhirnya diambilalih penanganannya oleh Mabes Polri. Rita KK tidak terima atas proses lelang yang dilakukan oleh pihak bank tersebut. Anehnya, dalam putusan majelis hakim, dari sekian banyak ahli yang dihadirkan terutama oleh JPU, hanya kesaksian pakar hukum perbankan, Yunus Husen, yang dihadirkan sebagai saksi ahli oleh pihak terdakwa, dikutip keterangannya oleh majelis hakim. Majelis hakim pimpinan M Sainal sependapat dengan saksi ahli bahwa pelanggaran standar operasional prosedur (SOP) dalam pemberian fasilitas kredit yang dilakukan terdakwa, sebagaimana didakwakan JPU, bukanlah ranah pidana.
Majelis hakim menjelaskan bahwa pelanggaran SOP saja tidak cukup untuk memenuhi ketentuan pidana dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b. Majelis hakim menekankan bahwa yang dimaksud dengan tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini artinya bank tidak melaksanakan hal-hal yang telah diperintahkan oleh Bank Indonesia (saat ini OJK) kepada bank tersebut.
JPU Maylani dan Olla dalam kasasinya menyebutkan bukan SOP saja yang dilanggar terdakwa Ningsih Suciati. Tetapi Pasal 49 ayat 2 huruf b UU tentang Perbankan. JPU juga menyebutkan bahwa tindak kejahatan perbankan yang merugikan debitur PT RK/Rita KK tersebut dilakukan terdakwa tidak hanya seorang diri. Melainkan bersama-sama dengan direksi, komisaris, pimpinan dan bankir di Bank Swadesi yang kini menjadi Bank BOII.
Akibat perbuatan itu, debitur PT RK/Rita KK menderita kerugian miliaran rupiah. Agunan pinjamannya berupa villa Kozy di Seminyak jadi dilelang Bank Swadesi/BOII tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku. Harga lelang villa yang lokasinya strategis itu diduga diciutkan sedemikian rupa oleh kreditur sementara pemiliknya tetap berhutang atau tetap ditagih kreditnya.
Perbuatan terdakwa Ningsih Suciati juga diklasifikasikan tidak mengindahkan asas kehati-hatian dan ketaatan dalam pelaksanaan pelelangan agunan kredit debitur. Oleh karena itu, JPU dalam requisitornya menuntut Ningsih Suciati lima (5) tahun penjara ditambah denda Rp 5 miliar subside tiga (3) bulan kurungan.
“Kami sih optimis dengan kasasi yang kami ajukan. Salah satu alasannya, karena isi kasasi itu murni fakta-fakta yang terungkap selama persidangan,” tutur Olla setelah menyampaikan memori kasasi ke PN Jakarta Pusat.
Selama persidangan Ningsih Suciati, keterangan saksi-saksi saling bersesuaian mendukung surat dakwaan JPU. Diperkuat lagi pendapat sejumlah pakar hukum perbankan, maka menjadi tidak ragu lagi JPU menuntut wanita itu selama lima tahun penjara. “Tentu saja kami tidak ragu karena tuntutan tersebut sepenuhnya berdasarkan fakta-fakta sidang,” kata Olla.
Ketika putusan majelis hakim ternyata bertolak belakang, tidak hanya Rita KK tetapi juga penasihat hukumnya Hasanuddin Nasution SH MH merasa prihatin dan kecewa. Hasanuddin menilai, vonis majelis hakim tersebut menyiratkan betapa sulitnya masyarakat mendapatkan keadilan meski sudah puluhan tahun digapai-gapainya. Bukan tidak mungkin pula masyarakat menjadi takut menempuh upaya hukum sekalipun dirugikan karena hukum itu sulit sekali didapatkan mengingat harganya yang sangat mahal hingga tak terjangkau masyarakat kurang mampu, apalagi miskin, manakala berhadapan dengan pemilik uang.
Hasanuddin lantas mendapat kesan majelis hakim seolah bukan pemberi keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Melainkan menjaga kepentingan pihak yang berkepentingan. Oleh karena dengan fakta-fakta sidang yang ada sesungguhnya menjadi tidak rasional putusan majelis hakim membebaskan Ningsih Suciati. Tetapi hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi, apapun putusannya harus dihormati dan dihargai.***