: Angka pernikahan tahun 2023, yang turun merupakan rekor paling rendah dalam dekade terakhir.
Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo menyebutkan, angka pernikahan yang turun, karena pernikahan di Indonesia bertujuan untuk prokreasi.
Angka pernikahan turun, disebutkannya, prokreasi memiliki arti bahwa tujuan menikah yang umum dimiliki masyarakat Indonesia adalah untuk menghasilkan keturunan.
Sementara, menurutnya karena makin tinggi karir perempuan menjadikan remaja 'zaman now' malas untuk memiliki anak.
Semua itu diungkapkan dokter Hasto, saat BKKBN menggelar Media Gathering bertajuk 'Strategi Indonesia Turunkan Stunting', di Yogyakarta, Kamis - Sabtu (7 - 9/2/2024j.
Pada acara yang resmi dibuka Kepala Biro Umum dan Hubungan Masyarakat BKKBN Victor Palimbong itu, dokter Hasto menyebutksn, ada tiga tujuan menikah di Indonesia.
"Tujuan menikah itu ada tiga, security (keamanan), prokreasi (menghasilkan keturunan), serta rekreasi. Nah, kalau naluri perempuan itu lebih ke security. Perempuan kalau dicintai sepenuhnya, meskipun tidak punya anak akan tenang. Tetapi, laki-laki kalau belum punya anak bisa gelisah terus," ungkap dokter Hasto.
Dokter Hasto menyebutkan, berdasarkan data Sistem Informasi Manajemen Nikah (Simkah) Kementerian Agama (Kemenag) tercatat 1.544.571 pasangan muslim menikah pada 2023. Angka ini menurun dibanding tahun 2022 yang mencapai 1,71 juta pasangan.
"Yang menikah tidak 1,5 juta, tetapi bisa jadi 1,7 juta kalau dihitung dengan yang non-muslim. Jadi, kalau diperkirakan, sejak tahun 2020 angka pernikahan itu sekitar 1,7 juta sekian. Apabila digabung jumlah pasangan muslim dan non-muslim, tetapi di tahun 2023 ini memang turun," tutur dokter Hasto.
Dokter Hasto juga mengaitkan turunnya angka pernikahan saat ini dengan naiknya masalah _mental health_ pada remaja. _Toxic people_ seperti ini berpengaruh pada kemampuan dalam menjalin hubungan, apalagi jangka panjang.
Tidak hanya berpengaruh pada romansa, juga orang toxic mendatangkan dampak buruk bagi hubungan keluarga, bahkan pekerjaan.
"Orang toxic menikah dengan orang toxic, akhirnya bercerai. Karena, orangtuanya selalu bertengkar, tidak peduli, sudah ungkur-ungkuran (saling acuh), lama-lama anaknya juga stres dan bermasalah kesehatan mental. Lihat orangtuanya begitu jadi malas menikah," terangnya.
Baca Juga: Stunting, TPK Salah Satu Ujung Tombak BKKBN dalam Upaya Pencegahan dan Pengentasan Stunting
Dirinya juga memaparkan data yang sangat miris, bahwa rata-rata umur melakukan hubungan seks pertama kali pada remaja di usia 15-19 tahun semakin meningkat.
"Persentase perempuan berusia 15-19 tahun yang telah melakukan hubungan seksual tercatat 59 persen, sedangkan, laki-laki 74 persen. Padahal hubungan seks usia dini bagi perempuan tinggi risiko terkena kanker rahim," tutup dokter Hasto.
Media gathering ini selain diikuti 17 jurnalis dari berbagai media massa, juga dihadiri jajaran pejabat tinggi BKKBN Tim Kerja Kehumasan BKKBN serta Perwakilan BKKBN DIY.
Sebelumnya juga digelar acara talkshow TPK sebagai Garda Terdepan. Talkshow menghadirkan Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang memiliki kompetensi dan telah berpengalaman sebagai tenaga di lingkup lini lapangan.
Dimoderatori Tenaga Ahli Kehumasan, Dr dr Riyo Kristian Utomo MH Kes CMH Cht talkshow bertajuk 'TPK Garda Terdepan Percepatan Penurunan Stunting' menghadirkan tiga TPK sebagai narasumber.
Yaitu bidan Dewi Krismayanti, Kader KB Patricia Sri Maryanti, serta anggota Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Swasti Prana Wijayawati Santoso.***