unescoworldheritagesites.com

TPPO Kejahatan Kemanusiaan Berbentuk Eksploitasi, Pemerintah harus Aktif  Tingkatkan Kesadaran Masyarakat Khususnya Perempuan - News

 Asidep Bidang Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan TPPO Kemen PPPA Prijadi Santoso (kiri) dan DPC SBMI Wonosobo sekaligus Penyintas TPPO Maizidah Salas (kanan).

 
: Tindak Pidana Perdangan Orang (TPPO) merupakan kejahatan kemanusiaan yang mencakup berbagai bentuk eksploitasi. Seperti kerja paksa, pernikahan paksa, serta prostitusi dengan beragam modus operandi. 
 
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan TPPO Kemen PPPA Prijadi Santoso mengungkapkan, perempuan dan anak-anak seringkali menjadi target TPPO karena ketidaksetaraan gender yang membuat mereka lebih rentan terhadap eksploitasi. 
 
Selain itu, kemajuan teknologi informasi juga telah memperluas modus operandi TPPO, termasuk melalui online scamming yang menjanjikan pekerjaan dan pendapatan instan.
 
 
“Melalui platform online, pelaku merekrut calon korban, memanipulasi situasi, dan mengiming-imingi tawaran magang, kerja, beasiswa, hingga pendapatan instan melalui online scamming,* ujar Prijadi dalam Media Talk bertahuk 'Perempuan Merdeka dari Ancaman Tindak Pidana Perdagangan Orang', di Jakarta, Kamis (1/8/2024). 
 
Pemerintah Indonesia bersama seluruh pemangku kepentingan, lanjutnya, harus bergerak aktif melakukan sosialisasi, guna meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya perempuan terkait ancaman TPPO, serta meningkatkan pengetahuan mengenai prosedur migrasi yang aman bagi perempuan. 
 
 
Prijadi mengungkapkan berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tahun 2023, terdapat 252 korban dewasa TPPO, dengan 235 di antaranya adalah perempuan. 
 
Untuk korban anak, terdapat 206 korban, dimana 200 di antaranya adalah anak perempuan. Data ini menggambarkan betapa urgennya perlindungan dan pencegahan bagi kelompok rentan ini. 
 
Prijadi menyatakan, dalam upaya pencegahan, Kemen PPPA telah membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO (GT PP TPPO) melalui Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008, yang diperbarui menjadi Perpres Nomor 49 Tahun 2023. Polri kini memimpin sebagai ketua harian GT PP TPPO. 
 
 
Kemen PPPA juga telah menerbitkan Permen PPPA Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berbasis Masyarakat. 
 
Permen ini sebagai acuan bagi masyarakat, Kementerian/ Lembaga, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota termasuk pemerintah desa. 
 
Dalam membantu upaya menghilangkan faktor yang menyebabkan terjadinya TPPO sedini mungkin dan mencegah terjadinya keberulangan masyarakat menjadi korban TPPO.
 
 
 
“Upaya ini dilengkapi dengan Rencana Aksi Nasional (RAN) GT PP TPPO periode 2020 – 2024, yang menargetkan peningkatan koordinasi antar lembaga serta peningkatan kesadaran masyarakat," ujarnya. 
 
Sebagai langkah konkret, imbuhnya, Kemen PPPA mendorong pengembangan program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) di berbagai daerah. 
 
Hingga kini, terdapat 138 desa/ kelurahan yang telah mengembangkan program ini, dengan 119 di antaranya sudah memiliki peraturan desa, yang mendukung upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. 
 
 
Di bagian lain, Dewan Penasihat Serikat Buruh Migran Indonesia (DPC SBMI) Wonosobo sekaligus Penyintas TPPO Maizidah Salas, yang hadir sebagai nara sumber, membagikan kisah tentang pengalaman pahitnya sebagaii korban TPPO. 
 
Saat ini, dia menjadi advokat yang berkomitmen membantu pekerja migran perempuan, agar terhindar dari ancaman menjadi korban TPPO.  
 
“Saya terjerat dalam jaringan TPPO saat dijanjikan pekerjaan dengan penghasilan besar di luar negeri, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Namun, setibanya di sana, saya dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi dan tanpa kebebasan,” cerita Maizidah. 
 
 
Setelah melalui berbagai tantangan dan berjuang untuk membebaskan diri, Maizidah akhirnya berhasil pulang ke Tanah Air. 
 
Bangkit dari pengalaman traumatisnya, Maizidah kini mendedikasikan hidupnya untuk memberikan edukasi dan advokasi kepada pekerja migran perempuan. Agar, mereka lebih waspada terhadap ancaman TPPO. 
 
Melalui berbagai program pelatihan dan penyuluhan, dia membekali para calon pekerja perempuan dengan pengetahuan tentang hak-hak mereka dan cara melindungi diri dari eksploitasi. 
 
"Saya ingin memastikan tidak ada perempuan lain yang harus mengalami apa yang saya alami. Dengan memberikan informasi yang tepat, kita dapat mengurangi risiko perdagangan orang. Selain itu, saya juga memiliki konsen terhadap pendidikan dan pemenuhan hak anak para perempuan pekerja migran," paparnya. 
 
Maka dari itu, lanjutnya, dirinya mendirikan fasilitas penitipan dan pendidikan bagi anak-anak para pekerja migran di kampung. Prinsipnya, sebagai perempuan harus mau belajar dan memperjuangkan hak perempuan dan membantu sesama jika mengalami kesulitan. 
 
"Saya berharap dapat menginspirasi lebih banyak pihak untuk bergandengan tangan dalam memerangi TPPO dan mendukung pekerja migran perempuan yang aman dan nyaman dalam bekerja,” tutur Maizidah.***
 
 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat