: Perkembangan teknologi informasi di dunia terus berkembang secara masif. Pengguna internet di Indonesia mencapai 212 juta pengguna. Maka, tak dapat dihindari perubahan gaya hidup menjadi serba digital yang menawarkan kemudahan dan kepraktisan dalam melakukan berbagai aktivitas.
Di sisi lain tingginya aktivitas digital juga membuka potensi buruk, seperti penipuan dan pencurian akun. Maka dari itu diperlukan pemahaman masyarakat terkait keamanan digital.
Ari Ujianto, Staf Pengembangan Kapasitas JALA PRT mengatakan keamanan digital adalah sebuah proses untuk memastikan penggunaan layanan digital, baik secara daring maupun luring dapat dilakukan secara aman.
Baca Juga: Belajar Hak dan Tanggung Jawab di Dunia Digital, Hindari Plagiasi dan Manipulasi
“Tidak hanya untuk mengamankan data yang kita miliki, tapi juga melindungi data pribadi yang bersifat rahasia,” kata Ari Ujianto di acara diskusi virtual bertema “Tantangan Hoax di Dunia Pendidikan” yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia, Jumat (26/5/2023) pekan kemarin.
“Kompetensi keamanan digital yaitu mengamankan perangkat digital, mengamankan identitas digital, mewaspadai penipuan digital, memahami rekam jejak, dan memahami keamanan digital bagi anak,” sambungnya.
Baca Juga: 204,7 Juta Pengguna Internet, Indonesia Berada di Peringkat 53 Literasi Digital dari 63 Negara
Terkhusus jejak digital, dia menyarankan untuk berhati-hati. Jejak digital adalah kumpulan jejak data yang terdokumentasi secara digital pada perangkat computer atau lainnya.
Katanya, jejak digital terkait dengan keamanan data pribadi jika tidak aman akan mudah dibobol kata kuncinya.
“Kata kunci jika berhasil dibobol menyebabkan akun kita dapat digunakan untuk hal-hal negatif, seperti menyebarkan hoax, menipu, memfitnah, posting konten pornografi, membuat akun pinjaman online, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan jejak digital kita menjadi buruk,” jelas Ujianto.
Kata Ujianto lagi, data pribadi perlu dilindungi. Tidak semua hal dikontenkan. “Semua demi konten. Perlu dipikir ulang, karena bias berdampak negatif pada diri kita sendiri. Apa lagi hal-hal yang terkait privasi dan data pribadi,” sarannya.
Sementara itu, Slamet Setiyono, SPd. SST. MEng. MTA dari Asosiasi Pengawas Seluruh Indonesia mengatakan dalam ruang digital kita akan berinteraksi, dan berkomunikasi dengan berbagai perbedaan kultural. Interaksi antar budaya dapat menciptakan standar baru tentang etika. Maka, segala aktivitas digital di ruang digital dan menggunakan media digital memerlukan etika digital.
Dia menjelaskan, budaya digital merupakan sebuah konsep yang mencakup cara kita berinteraksi, bekerja, dan belajar, bahkan bermain dalam dunia yang semakin didominasi oleh teknologi digital.
“Ini bukan hanya tentang perangkat dan platform yang kita gunakan, tetapi juga tentang bagaimana kita menggunakan mereka, norma dan nilai apa yang kita pegang, dan bagaimana semua ini membentuk masyarakat kita,” kata Slamet.