Oleh: Syamsudin Walad
: Demi sebuah legacy dan janji politik, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tega mengorbankan dunia pendidikan. Bila dimata kebanyakan orang pendidikan adalah prioritas utama, rupanya tidak buat Ridwan Kamil. Gubernur yang diplot oleh Partai Golkar menjadi Cagub DKI ini telah memangkas anggaran pendidikan dari BOPD mencapai 38%. Adapun anggaran tersebut dialihkan untuk infrastruktur.
Kabarnya hal ini dilakukan karena sebuah legacy tengah disiapkan Ridwan Kamil (RK) di masa akhir jabatannya. Legacy dan janji politik yang belum terpenuhi. Sehingga anggaran pendidikan Biaya Operasional Pendidikan Daerah (BOPD) dipangkas 38% demi hasrat tersebut.
Membuat sebuah legacy dalam akhir masa jabatan sah-sah saja sebenarnya. Tapi kenapa harus diambil dari anggaran pendidikan? Kenapa dunia pendidikan yang dikorbankan? Dari sini alangkah wajar bila kemudian ada gerakan tolak Ridwan Kamil.
Dampak pemangkasan anggaran pendidikan Jawa Barat sebesar 38% oleh Gubernur Ridwan Kamil kini mulai dirasakan orangtua siswa di sekolah. Sejumlah orangtua siswa mengeluhkan adanya pungutan-pungutan oleh pihak sekolah. Besaran pungutan relatif, yang bila dibreakdown perbulannya bisa mencapai antara 300 ribu hingga 400 ribu perbulan.
Baca Juga: Golkar Perjuangkan Airlangga Cawapres Prabowo: Ridwan Kamil Disiapkan untuk Pilkada
Bagi sebagian orangtua murid yang mampu, hal ini bukan masalah. Tapi bagi mereka yang tidak mampu dan yang kondisi ekonominya pas-pasan, ini menjadi problem. Mereka harus menghitung ulang pengeluarannya selama sebulan.
Permasalahan menjadi ruwet karena tidak transparannya pihak sekolah dalam menerangkan pemanfaatan pungutan-pungutan yang ditetapkan. Pihak sekolah juga tidak merinci berapa sebenarnya yang diterima pihak sekolah dari dana BOS dan BOPD. Padahal bila dibreakdown perbulan dan dibicarakan bersama dengan orangtua siswa, bisa dibedah kegiatan-kegiatan mana saja yang diutamakan dan mana yang sementara bisa dikesampingkan.
Gagapnya pihak sekolah menerima kenyataan anggaran BOPD nya berkurang 38% pada akhirnya melimpahkan beban itu ke orangtua siswa. Sekolah negeri yang selalu dimanja dengan anggaran yang ada dan tidak terbiasa melakukan kerjasama-kerjasama dengan pihak sponsor melimpahkan bebannya ke orangtua siswa. Karena hanya itu yang ada dipikiran mereka. Mereka tidak terbiasa mencari sponsor maupun donatur.
Baca Juga: Wagub Jabar Apresiasi Kinerja Program CSA Kementan
Gembar-gembor kreatif dan inovatif yang digaungkan pihak sekolah juga terbukti hanya sebatas jargon. Buktinya, mereka gagap mencari solusi atas berkurangnya anggaran pendidikan sebesar 38%. Mestinya dengan keterbatasan dana, mereka bisa memilah-milah kegiatan yang tidak terkait akademik bisa saja ditiadakan. Atau sebelum adanya donatur atau pihak sponsor kegiatan yang tidak terkait langsung dengan akademik bisa dipending.
Sorotan juga tidak saja tertuju kepada sekolah. Tetapi juga ke Kepala Dinas Pendidikan Jabar yang lewat program-programnya seharusnya bisa menyesuaikan dengan anggaran. Bukan malah sebaliknya, memaksakan kegiatan terlihat wah yang sebenarnya bisa saja ditiadakan atau diadakan dengan sederhana.
Bergesernya gaya hidup yang terjadi di era saat ini juga ikut mempengaruhi dunia pendidikan kita. Gaya kelulusan sekolah dari mulai tingkat SD hingga jenjang SMA dengan gaya-gayaan wisuda seperti di perguruan tinggi menggerus rasa empati kita kepada mereka yang tidak mampu. Dulu gaya kelulusan seperti ini hanya dilakukan sekolah-sekolah swasta elite.