Oleh: Yus Dharman
: Teori pemisahan kekuasaan atau Trias Politica pertama kali dikenalkan secara ilmiah oleh John Locke seorang filusuf berkebangsaan Inggris dalam bukunya Two Treatises of Government, yang terbit tahun 1690. Yang kemudian pada tahun 1748 di sempurnakan oleh Montesquie, ahli hukum Perancis dalam buku yang berjudul De L'esprit des Lois..
Menurut John locked dan Montesquie, kekuasaan dalam Negara Demokrasi, dibagi menjadi tiga yaitu : 1)kekuasaan membuat
undang-undang (legislatif); 2)kekuasaan melaksanakn undang-undang
(eksekutif) dan 3) kekuasaan menegakan undang-undang (Yudikatif).
Pemikiran tersebut lahir untuk membatasi kekuasaan politik raja yang absolut, dan sering sewenang-wenang merupakan sifat primitif yang dimiliki oleh semua manusia termasuk kita,
Baca Juga: NKRI Rule Of Law Bukan Rule by Lawa
John Locke menyebut dasar terbentuknya Negara Demokrasi itu dibangun di atas asas pactum unionis dan pactum subjectionis.
Artinya, mayoritas rakyat memberikan mandat kepada Minoritas rakyat yang terbukti punya rekam jejak terbaik di lingkungan masyarakatnya untuk dipilih menjadi pemimpin, bukan pemimpin abal-abal, yang di besarkan lewat pencitraan lalu di viralkan oleh Buzzer-Buzzer bayaran.
Sebagai konstituen partai politik di Indonesia Rakyat tidak memiliki kewenangan apa-apa, hanya sebagai pelengkap penderita, disodorkan calon pemimpin lalu disuruh pilih setelah itu selesai, silakan jadi penonton. Selanjutnya terserah Ketum dan Sekjen Partai yang mengatur.
Baca Juga: Third Termism / Termise Ketiga Konsep Basi
Ditambah belum ada nya UU & Peraturan yg mengatur tentang Oposisi seperti di Amerika Serikat hanya ada dua partai besar (duo poly) yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik, jika Partai Demokrat menang Pemilu, Partai Republik otomatis jadi Oposisi, begitu sebaliknya, sehingga fungsi check & balance nya berjalan dengan baik. Bukan seperti sekarang semua partai yang kalah bergabung(koalisi) menjadi KIM Plus, jika PDIP bergabung, Indonesia akan menjadi Negara Pseudo Demokrasi.
Begitupun anggota partai politik termasuk Ketua umum harus berhenti sbg Ketum untuk sementara selama menjabat sebagai Eksekutif (Presiden & wakil Gubernur & Wakil, Bupati & Wakil) serta jabatan2 strategis lain nya di Pemerintahan, tidak seperti sekarang sudah menjadi pejabat publik tapi enggan melepas jabatan di partai nya.
Padahal jabatan sekelas Notaris, PPAT dan Advokat yg tidak di bayar oleh Negara saja dilarang dirangkap.
Jika kita pelajari, Sistem presidensial Indonesia plagiat dari Amerika Serikat tapi setengah-setengah tidak 100%, sehingga siapapun yang menjadi Presiden Indonesia dengan sistem presidensial setengah-setengah seperti sekarang, potensi nyeleweng nya sangat besar.
Disebabkan Proses demokratisasi yang tidak terarah menimbulkan konflik kepentingan yang besar, antara rakyat berdaulat dengan kepentingan partai politik dan oligark,
apalagi sekarang 60% penguasa adalah Pengusaha (Peng-Peng)
Presiden dan wakil presiden, Gubernur & Wakil, Bupati & Wakil, Republik Indonesia, dipilih oleh rakyat, untuk melayani kepentingan Rakyat begitupun Para Menteri sebagai pembantu Presiden secara langsung membantu presiden untuk melayani kepentingan rakyat. Seharusnya melayani Rakyat, wong nama nya saja ABDI NEGARA.
Tidak terkecuali anggota DPR RI, DPRD Propinsi dan DPRD tkt II, dipilih oleh rakyat, merupakan wakil rakyat, tapi sering kali jika menyuarakan aspirasi rakyat yg nota bene adalah bos nya, mengkritik kebijakan Eksekutif yang sering tidak memihak mayoritas Rakyat kecil, bisa di Recall oleh Ketum Partainya, karena dianggap vokal bikin gaduh. Disini loop hole yg harus di tambal.
Harusnya selama ybs tidak melakukan tindak pidana, Ketum partai tidak bisa me recall anggotanya berdasarkan like & dislike.
Saat ini malaikat pun jika masuk sistem Politik yang kaya gini, akan jadi setan, kata Machmud MD.
Itulah sebabnya kekuasaan harus dibatasi,
Karena Power tend to corrupt, absolute Power Corrupt absolutely kata Lord Acton.
Awasi (check), harus seimbang (balance) manakala Presiden sebagai Eksekutif mulai melakukan manuver membuat kebijakan politik yang nyeleneh, oposisi di Legislatif wajib menolak, bukan malah mendukung.