Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi
: Suksesi kepemimpinan menjadi salah satu indikator keberlanjutan pembangunan. Hal ini tidak bisa terlepas dari pelaksanaan pesta demokrasi yang diyakini sebagai jalan terbaik untuk mendukung suksesi kepemimpinan nasional. Akhir pemerintahan Jokowi pada 20 Oktober 2024 yang bersamaan dengan pelantikan Prabowo diharapkan mendukung bagi suksesi kepemimpinan nasional secara baik dan benar, juga mulus tanpa ada hambatan sedikitpun.
Ironisnya riak di balik suksesi kepemimpinan nasional di republik ini nampak terlihat. Setidaknya pergantian dari Jokowi ke Prabowo masih diwarnai isu sosial politik yang juga berimbas ke sektor ekonomi. Paling tidak, ini bisa terlihat dari kasus ‘nebeng’ si Kaesang yang kasusnya masih menggantung di KPK.
Persepsian tentang ‘nebeng’ yang disampaikan memang berbeda sekali dengan ‘nebeng’ dalam arti umum. Oleh karena itu, beralasan jika kemudian kasus ‘nebeng’ tidak dapat tuntas di KPK. Selain itu, kasus lain yang juga sangat viral adalah Fufu Fafa. Terkait hal ini, tidak bisa dipungkiri bahwa dampak sistemik dari kasus akun Fufu Fafa sangat luas. Bahkan, imbasnya bukan hanya kepada nama-nama yang disebut dalam akun Fufu Fafa tapi juga ada tendensi SARA, termasuk juga tuduhan penistaan agama.
Baca Juga: Nasib 20 Oktober
Viral dari kasus akun Fufu Fafa akhirnya memaksa netizen untuk turun gunung dan akhirnya terbongkar semua apa yang ada di Fufu Fafa. Konsekuensi kasus ini sangat memicu sentimen yang berpengaruh terhadap agenda pelantikan Gibran. Betapa tidak, sejumlah tokoh – politisi di berbagai media menyerang Fufu Fafa yang memang faktanya menyudutkan dan juga menyerang pribadi, termasuk juga Prabowo dan keluarganya.
Polemik lain yang juga menarik dicermati adalah batalnya pembacaan putusan peradilan di PTUN sebagai dampak gugatan PDIP atas persyaratan dari Gibran. Seharusnya, andai sesuai jadwal pembacaan itu dilakukan pada 10 Oktober tetapi munculnya perdebatan di medsos dan juga tekanan sosial politik yang semakin kuat di akhir pemerintahan Jokowi maka pembacaan akhirnya ditunda pada 24 Oktober 2024. Artinya, pembacaan tersebut berlangsung setelah pelantikannya pada 20 Oktober. Meski demikian, masih ada ragam celah hukum - politik yang bisa dilakukan untuk menolak Gibran.
Beberapa tokoh yang pakar di bidang Ketatanegaraan terus berupaya menggagalkan pelantikan Gibran dengan berbagai dalih argumen yang setidaknya dapat diterima publik dan diharapkan berlanjut di peradilan. Oleh karena itu, proses hukum dan peradilan masih akan terus berlanjut di akhir pemerintahan Jokowi.
Baca Juga: Pilkada Vs Perang Bintang Baca Juga: Pilkada Vs Perang Bintang
Bahkan, ada yang menyebut bahwa pertemuan Jokowi dan Prabowo belum lama ini dianggap sebagai langkah terakhir Jokowi untuk ‘minta-minta’ penyelamatan dan perlindungan kepada Prabowo. Hal ini tidak bisa terlepas dari realitas ketidakmampuan lagi bagi Jokowi untuk cawe-cawe di akhir kekuasaannya.
Ironisnya, situasi sosial ekonomi politik dalam sebulan terakhir cenderung terus panas dan pastinya berdampak sistemik terhadap pemerintahan. Terkait hal ini maka tidak bisa dipungkiri bahwa memang situasi iklim sosial ekonomi politik di republik ini cenderung semakin memanas dan tensinya belum meredup. Situasinya cenderung semakin panas di akhir pemerintahan Jokowi ketika pemindahan ibu kota juga memicu kontroversi karena adanya konflik kepentingan.
Bahkan, netizen menyuarakan keresahan dibalik target dari rencana pemindahan ibu kota tersebut. Jadi, situasi ini jelas memicu sentimen negatif di operasional pemerintahan yang berlanjut ke target pembangunan, termasuk juga konflik di balik agenda makan siang gratis yang dikampanyekan Prabowo.
Baca Juga: Sedimentasi
Fakta yang ada secara tidak langsung memicu sentimen sehingga beralasan jika investor dan pelaku ekonomi cenderung wait and see sambali terus memantau perkembangan di semua sektor tanpa terkecuali. Ironisnya jika situasi ini terus berlanjut terutama pasca 20 Oktober maka bukan tidak mungkin situasinya akan berubah dari wait and see menjadi wait and worry.