Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi
: Regenerasi kepemimpinan nasional dilakukan 20 Oktober yaitu dari
Jokowi ke Prabowo dan pastinya ada banyak harapan dari kepemimpinan
Prabowo untuk 5 tahun kedepan. Di satu sisi tidak bisa dipungkiri
bahwa ada banyak peluang dan tantangan, terutama hal ini dikaitkan
dengan globalisasi dengan semua kompleksitasnya.
Di sisi lain hasil pilpres kemarin masih menyisakan persoalan yang cukup pelik, terutama
terkait dengan gugatan PDIP yang mengajukannya di PTUN dan akah
dibacakan putusannya pada 24 Oktober. Selain itu iklim sospol juga
sempat memanas sebelum pelantikan terutama pasca muncul akun fufu fafa
yang menyebut sejumlah tokoh - politisi, termasuk juga Prabowo. Bahkan
akun fufu fafa juga dituding menyeret isu SARA yang selama ini sangat
sensitif.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dampak sistemik fufu fafa memang sangat
luar biasa. Oleh karena itu, dugaan pengalihan isu melalui penyerangan
sejumlah orang dalam diskusi di Jakarta kemarin yang melibatkan
sejumlah tokoh dan politisi ternyata gagal. Realitas ini secara tidak
langsung menegaskan bahwa fufu fafa tidak hanya memicu sentimen dunia
maya tapi juga di dunia nyata, termasuk juga dunia perpolitikan
nasional. Artinya, kilas balik terkuaknya akun fufu fafa juga
mendiskreditkan Prabowo dan bukan tidak mungkin hal ini juga memicu
kemarahan Prabowo, apalagi pernyataan dari akun fufu fafa sangat jelas
mengarah kepada Prabowo, baik secara pribadi maupun keluarganya.
Kemarahan itu bisa saja fatal karena faktor pribadi yang diserang.
Dampak sistemik fufu fafa memang bisa saja diselesaikan secara politik
dan tentu harus mempertimbangkan banyak aspek. Artinya, wait and see
yang berpotensi menjadi wait and worry juga bisa tergantung bagaimana
politisi menyelesaikan kasus akun fufu fafa. Bagaimanapun juga, fufu
fafa telah secara vulgar mempertontonkan kebencian dan atau
ketidaksukaan kepada sejumlah tokoh dan artis, termasuk Prabowo. Belum
lagi dugaan SARA dibalik unggahan akun fufu fafa. Oleh karena itu,
nasib Gibran bisa jadi sangat ditentukan bagaimana penyelesaian secara
hukum atau politik dibalik kasus fufu fafa. Di sisi lain suksesi
kepemimpinan pastinya juga akan berimbas terhadap aspek kepentingan
hukum dan politik.
Belajar bijak regenerasi kepemimpinan nasional hasil dari pilpres maka
apa yang terjadi dalam regenerasi kali ini memang harus dicermati
secara bijak. Argumen yang menjadi pertimbangan tidak bisa terlepas
dari faktor sosial ekonomi politik. Bahkan fakta dibalik lesunya
ekonomi domestik menjadi pertimbangan penting untuk tetap menjaga
keutuhan dibalik suksesi kepemimpinan. Betapa tidak, suksesi melalui
regenerasi kepemimpinan nasional menjadi muara untuk membangun ke
depan yang lebih baik. Artinya, jika dari pelaksanaan suksesi itu
sendiri tidak berjalan mulus maka bukan tidak mungkin terjadi konflik,
baik secara horizontal maupun vertikal yang pastinya berdampak
sistemik bagi perekonomian nasional.
Terlepas dari masih adanya konflik pra dan pasca pelantikan Prabowo
bahwa pastinya di periode 5 tahun ke depan akan ada banyak persoalan
dan tantangan yang berat, termasuk misalnya bagaimana manajemen utang
luar negeri, pengentasan kemiskinan, aktualisasi era otda untuk
meningkatkan kesejahteraan dan mereduksi korupsi yang cenderung terus
meningkat. Ironisnya, temuan sejumlah kasus OTT oleh KPK juga
mengindikasikan ada perilaku korupsi yang dilakukan secara berjamaah.
Oleh karena itu, beralasan jika dalam pembekalan yang dilakukan oleh
Prabowo juga menegaskan agar semua pembantunya di pemerintahan Prabowo
jangan bermain-main dengan dana APBN. Jadi, pembekalan itu menjadi
sinyal positif pemerintahan Prabowo untuk tidak menyiasati APBN yang
dapat memperkaya oknum. Setidaknya, harapan publik di pemerintahan
Prabowo akan terjadi peningkatan kesejahteraan. Meski demikian tetap
harus diwaspadai pasca pelantikan karena dinamisasi perpolitikan bisa
saja terus terjadi dan berubah selaras dengan kepentingan yang ada. ***
* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo