Oleh Dr Muhammad Reza Syariffudin Zaki, SH, MA
: Kasus perusahaan asuransi gagal bayar terus menjadi sorotan publik. Sejumlah perusahaan asuransi jiwa masih mengalami permasalahan yang mengakibatkan perusahaan gagal bayar.
Deretan asuransi gagal bayar tercatat di antaranya Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life), hingga PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha Life atau Wanaartha Life.
Atas berlarutnya kasus perusahaan asuransi ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberi tenggat yang tegas. Bahkan tidak segan mencabut izin perusahaan.
Awal Desember 2022 lalu, OJK telah meniup peluit dan mengeluarkan "kartu merah" memutuskan mencabut izin usaha (CIU) Wanaartha Life.
Maka dengan demikian, Wanaartha Life tidak lagi tunduk kepada Undang-undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Karena berdasarkan pasal 8 ayat (1) berbunyi: “Setiap Pihak yang melakukan Usaha Perasuransian wajib terlebih dahulu mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan” menunjukkan bahwa setelah izin usahanya dicabut oleh OJK maka ia otomatis hanya tunduk kepada Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
OJK telah menerima dokumen Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang diselenggarakan secara sirkuler dan ditandatangani oleh seluruh Pemegang Saham, dimana dalam RUPS tersebut telah memutuskan pembubaran perusahaan dan pembentukan Tim Likuidasi (TL) sebelum batas waktu 30 hari sejak tanggal pencabutan izin usaha.
Dasar hukum penyelenggaraan RUPS Sirkuler oleh Pemegang Saham tersebut adalah Pasal 91 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) serta Pasal 10 ayat (5) Anggaran Dasar PT WAL.
Sejurus dengan itu, OJK menghormati dan mendukung proses hukum yang dilakukan oleh Bareskrim Polri melalui penetapan tujuh orang tersangka terkait kasus WAL, termasuk Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan keluarganya, yaitu Manfred Armin Pietruschka, Evelina Fadil Pietruschka, dan Rezanantha Pietruschka.
OJK juga tetap meminta kepada Pemegang Saham Pengendali agar segera kembali ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan atas permasalahan PT WAL, termasuk memenuhi kewajiban kepada para pemegang polis.
Pembentukan Tim Likuidasi oleh RUPS dan OJK Cacat Hukum
Dukungan OJK kepada Bareskrim atas penetapan tujuh tersangka termasuk bapak, ibu, dan anak keluarga Pietruschka tentu saja menjadi kontraproduktif dengan pembentukan tim likuidasi oleh para pemegang saham.
Meskipun itu mengacu kepada Pasal 91 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas maka.
Namun peraturan ini tidak berdiri sendiri dimana terdapat beberapa aturan lain yang bersinggungan terkait dengan rapat sirkuler dalam penentuan keputusan RUPS terutama yang berada di luar yurisdiksi Indonesia yakni hanya dengan sebuah dokumen yang berasal dari Indonesia dan membutuhkan persetujuan di wilayah luar Indonesia, maka berdasarkan Putusan Mahkamah Agung R.I. tanggal 18 September 1986 Nomor: 3038 K/Pdt/1981 yang menyatakan antara lain bahwa:
“Keabsahan surat kuasa yang dibuat di luar negeri selain harus memenuhi persyaratan formil juga harus dilegalisir lebih dahulu oleh KBRI setempat.”
Dalam hal ini jika terdapat salah satu pihak dalam sebuah kesepakatan bersama di dalam korporasi berada di luar wilayah Indonesia, maka dokumennya diperlakukan berbeda dalam keabsahannya dimana diperlukan legalisasi dari KBRI untuk menguatkan dokumen tersebut.
Logikanya jika rapat sirkuler bisa dilakukan, sementara mereka adalah Daftar Pencarian Orang (DPO), lantas ada kejanggalan pula pada OJK itu sendiri sebagai pengawas dalam penegakan hukum ini. Lalu di sini saja terlihat pihak-pihak tersebut tidak taat asas dan aturan perundangan-undangan.
Berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Luar Negeri No. 09/A/KP/XII/2006/01, tanggal 28 Desember 2006 (poin 68), dijelaskan bahwa legalisasi artinya pengesahan terhadap dokumen dan hanya dilakukan terhadap tanda tangan dan tidak mencakup kebenaran isi dokumen.
Setiap dokumen Indonesia yang akan dipergunakan di negara lain atau dokumen asing yang akan dipergunakan di Indonesia perlu dilegalisasi oleh instansi yang berwenang.
Dalam Lampiran Peraturan Menteri tersebut (poin 70) juga ditegaskan bahwa dokumen-dokumen asing yang diterbitkan di luar negeri dan ingin dipergunakan di wilayah Indonesia, harus pula melalui prosedur yang sama, yaitu dilegalisasi oleh Kementerian Kehakiman dan/atau Kementerian Luar Negeri negara dimaksud dan Perwakilan Republik Indonesia di negara setempat.
Demikian pula terhadap dokumen-dokumen seperti surat kuasa, perjanjian dan pernyataan yang diterbitkan (dan ditandatangani) di luar negeri yang hendak diperguna di sesuai petunjuk yang penulis jelaskan di atas.
Hal ini menjadi amat penting dikarenakan apabila tidak dilakukan pengesahan dokumen oleh pihak KBRI, maka dikhawatirkan adanya pemalsuan tanda tangan dokumen yang menimbulkan pelanggaran mu di kemudian hari.
Dan apabila dokumen yang berasal dari luar negeri itu digunakan di wilayah hukum Indonesia tanpa melalui legalisasi dokumen oleh KBRI, maka dokumen itu tidak sah secara hukum. Sehingga pembentukan Tim Likuidasi (TL) Wanaartha Life tidak memiliki legal standing.
Baca Juga: Lirik Lagu Apuse Dan Terjemahannya
PKPU: Opsi Paling Rasional bagi Nasabah
Permohonan PKPU atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang kini diajukan oleh DR. Benny Wullur, S.H., M.H., Kes., CLA, CLI, CTL, CCL, CPL, CPCLE, ACIArb, CH.CHt. sudah tepat. Karena sejak OJK mencabut izin usaha dari Wanaartha Life, maka otomatis Wanaartha Life tunduk kepada Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Artinya permohonan PKPU tidak perlu mendapatkan izin dari OJK. Lalu apa kelebihan PKPU bagi pemilik polis.
Dari sisi waktu, tentu saja PKPU lebih memberikan kepastian dan kemanfaatan hukum bagi para kreditor dikarenakan tidak memakan waktu yang panjang bila dibandingkan dengan likuidasi.
Baca Juga: Lirik Lagu Mendung Tanpo Udan Ndarboy Genk
Di dalam POJK Nomor 28 tahun 2015 tentang likuidasi membutuhkan waktu maksimum 2-4 tahun. Disamping itu, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2022 menjelaskan bahwa Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPU S) ataupun PKPU Tetap tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi.
Hal ini menunjukkan bahwa makin kuat alasan mengapa PKPU jauh lebih memberikan kepastian dan kemanfaatan hukum bagi nasabah.
Dikarenakan kepailitan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2022 masih bisa diajukan upaya hukum kasasi.
Sedangkan likuidasi jika menemukan aliran dana yang bermasalah, dia tetap harus mengajukan gugatan ke pengadilan. Artinya likuidasi harus menempuh jalan yang lebih berliku.
Dr Muhammad Reza Syariffudin Zaki, SH, MA, dosen Business Law Binus University.