: Pada 20 Desember 2023, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Ahli/Akademisi secara daring yang membahas visi-misi dan pandangan Capres tentang penyelesaian HAM dan konflik Papua pada Debat Capres putaran pertama.
Tujuan kegiatan tersebut adalah untuk mengeksplorasi secara lebih dalam dan menilai pandangan masing-masing Capres dalam isu HAM dan penyelesaian konflik Papua.
Berdasarkan diskusi dengan para ahli/akademisi, dapat ditarik sejumlah kesimpulan, sebagai mana disampaikan dalam siaran pers, Kamis (21/12/2023).
Pertama Debat kandidat menurut para ahli menjadi penting untuk memberikan gambaran bagi publik terhadap siapa kanddat yang mempunyai ide dan gagasan tentang perbaikan indonesia ke depan, terutama dalam isu HAM dan penyelesaian konflik Papua. Meski secara umum debat belum sempurna karena keterbatasan waktu dan masalah metode debat, tapi debat Capres putaran pertama setidaknya dapat memberikan gambaran umum bagi publik.
Kedua menurut para ahli/akademisi, debat kandidat Capres/cawapres dipercaya akan berpengaaruh pada perubahan pemilih dalam menentukan pilihan kandidat presiden dalam Pemilu. Debat kandidat menjadi penting bagi masyarakat untuk mencermati ide, gagasan dan rekam jejak masing-masing calon presiden.
Ketiga, untuk isu HAM dan penyelesaian konflik Papua, sebagian besar para ahli menilai calon presiden nomor 1 (Anies Baswedan) dan 3 (Ganjar Pranowo) memiliki pandangan yang baik dalam menyelesaikan Papua secara damai melalui dialog. Berbeda dengan calon presiden nomor urut 2 (Prabowo Subianto) yang pendekatanya masih state sentris dan cenderung pendekatan keamanana dalam menyelesaikan konflik Papua.
Kemudian dalam isu HAM, paslon nomor urut 1 memiliki pandangan baik untuk berjanji menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat khususnya kasus penculikan aktivis 1997/1998, sementara paslon 3 memberi pandangan yang baik untuk mengembalikan negara kekuasaan menjadi negara hukum. Lebih jauh, calon presiden nomor urut 1 dan 3 juga sama-sama memiliki pandangan pentingnya terhadap jaminan kebebasan sipil. Berbeda dengan calon presiden nomor urut 2 yang tidak terlihat jelas pandanganya tentang penyelesaiahn HAM masa lalu khususnya penculikan serta tidak jelas dalam isu jaminan kebebasan sipil khususnya kebebasan berpendapat
Terkait masalah HAM dan Konflik Papua, pandangan para ahli/akademisi yang disarikan dari FGD di atas, yaitu:
Dr. Mangadar Situmorang (Dosen Universitas Parahyangan, Bandung dan Koordinator Forum Akademisi untuk Papua Damai/FAPD).
1. Menyampai catatan kritis terhadap Capres dari tiga (3) aspek: Pertama, dokumen visi-misi. Paslon nomor urut 1 (Anies-Muhaimin) agak lebih lengkap, karena semua aspek terkait Papua tersedia, isu HAM juga sedikit banyak dibahas. Persoalan HAM paling dibahas dalam visi-misi paslon nomor urut 3 (Ganjar-Mahfud), termasuk isu penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sedangkan isu HAM tidak didapatkan secara eksplisit dalam dokumen visi-misi paslon nomor urut 2 (Prabowo-Gibran). Kedua, tampilan para capres dalam debat, terutama dalam menjawab penyelesaian HAM dan konflik Papua. Capres nomor urut 2 (Prabowo Subianto) mengasumsikan akar persoalan Papua adalah separatisme, pengaruh kekuatan asing dan isu disintegrasi. Perspektifnya Jakarta, pemerintah dan aparat keamanan sentris. Kecenderungannya melanjutkan paradigma dan pendekatan pemerintah selama ini. Sementara capres nomor urut 2 (Ganjar Pranowo) menggarisbawahi penyelesaian Papua melalui jalan dialog, meski belum dijabarkan secara lebih jauh. Capres nomor urut 3 (Anies Baswedan) lebih mengangkat isu ketidakadilan, menegah keberulangan dan menghadirkan ketidakadilan. Ketiga, dari pengenalan profil masing masing capres. Di mana Capres nomor urut 1 memiliki latar belakang akademik, nomor urut 2 berlatar belakang militer, sedangkan nomor urut 3 adalah politisi dan berpengalaman dalam pemerintahan.
2. Berdasarkan bacaan ketiga aspek di atas, terbuka ruang konsistensi dan inkonsistensi dari masing-masing capres, termasuk bagaimana pemahaman mereka terhadap persoalan papua. Dapat dikatakan paslon nomor 1 dan nomor 3 memiliki perhatian terhadap isu HAM, meski ada catatan apakah mereka kan memiliki konsistensi atau tidak ke depan. Sedangkan Paslon nomor urut 2 secara ekslisit akan memperkuat aparat keamanan di papua dan mirip dengan pendekatan selama ini dijalankan oleh pemerintah. Paslon nomor 2 akan meneruskan pendekatan pendekatan selama ini, bahkan cenderung pendekatan keamanan akan lebih besar karena asumsi terorisme, separatisme dan intervensi asing dalam persoalan Papua.
*Prof. Dr. Muhammad Ali Syafaat (Dosen Universitas Brawijaya, Malang)*
1. Memetakan sejumlah isu HAM dan Papua yang disampaikan oleh para Capres pada debat capres putaran pertama, antara lain: isu tentang penurunan kebebasan sipil (UU ITE), penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, kebebasan beragama dan berkeyakinan, penyelsaian kasus-kasus HAM di Papua, pendekatan dialog versus pendekatan keamanan, status otonomi khusus papua dan pemekaran daerah baru papua.
2. Respons para capres terhadap substansi persoalan HAM dan papua: Pasangan AMIN menyampaikan visi misi untuk memulihkan kualitas demokrasi dan HAM, Prabowo-Gibran cenderung menghehindar menjawab isu penculikan dan menimpakan kasus tersebut ke Mahfud MD, menhatakan kasus pelanggaran HAM masa lalu adalah isu politik yang berarti ia tidak mengakui ada problem HAM masa lalu, dan dalam penyelesaian separatism Papua akan memperkuat atau penambahan aparat keamanan dan percepatan pembangunan ekonomi di papua. Sedangkan GP-MD mendorong percepatan demokrasi yang substantif dan penghormatan HAM dan pada saatd ebat berani menawarkan ide dan gagasan penyelesaian kasus HAM masa lalu dan penyelesaian Papua melalui dialog.
3. Kesimpulan: secara umum debat Capres putaran pertama masih normatif. Dalam konteks itu, Capres nomor urut 2 (Prabowo Subianto) lebih banyak menyampaikan jargon, dan menghindari pembahasan kasus-kasus konkrit serta mendorong pendekatan keamanan dalam menangani masalah papua. Capres nomor urut 1 (Anies Baswedan) mendorong penguatan kebebasan berpendapat, sedangkan Capres nomor urut 3 (Ganjar Pranowo) mendorong upaya penyelesaian kasus JAM masa lalu dan pengadilan HAM ad hoc. Di luar itu, menurutnya ada sejumlah isu HAM dan Papua yang belum jelas dalam debat putaran pertama, seperti isu perlindungan data pribadi, kebebasan Beragama, masalah otonomi khusus Papua, dan strategi pelaksanaan dialog Papua.
Dr. Vince Tebay (Dosen Universitas Cendrawasih/Direktur Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Cendrawasih Papua)
1. Capres nomor urut 1 (Anies Baswedan) menawarkan ada tig acara menyelesaian masalah HAM di Papua. Selain mencegah keberulangan dan menghadirkan keadilan, yang menarik adalah cara yang ketiga, yaitu melakukan dialog secara partisipatif. Capres nomor urut 2 (Prabowo Subianto) menyebutkan masalah HAM papua sangat rumit, yang menurut dia dikatakan ada gerakan separtis, campur tangan asing, isu disintegrasi. Selain itu, dia bilang hrs melindungi rakyat dari KKB, artinya pendapat Prabowo bahwa pelanggaran HAM itu harus dianalisi karena dia bilang rumit. Sedangak calon Presiden nomor urut 3 (Ganjar Pranowo), dia sederhana dan lebih konsen dengan mengatakan perlua dialog antar komponen yang bertikai. Meskipun siapa aja yang diajak dialog itu yang belum dijelaskan dan model doalog yang dijalankan oleh Ganjar akan seperti apa. Dari bacaan terhadap ketiga calon presiden tesrebut, bagi saya calon presiden nomor urut 1 (Anies baswedan) lebih memahami HAM karena itu pendekatan yang ditawarkan itu ada tiga cara.
Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti (Pengamat Politik)
1. Sampai detik ini belum ada penuntasan kasus pelanggaran HAM di tanah Papua, seperti yang terjadi di Wasior, Biak tahun 1980an, Panian, Pegunungan Tengah pada 1970-an menjelang pemilu 77, apa yang terjadi di perbatasan tahun 1984 – 1985, itu menjadi persoalan; juga di Timika, Freeport. Saat ini, Pemerintah tidak serius menangani persoalan HAM berat di Indonesia secara tuntas, baik itu di Aceh maupun di Papua, atau Indonesia secara luas. Ada UU KKR, tapi UU ini juga dibatalkan. Tapi kemudian digunakan non judisial. Keluarga khususnya 1998, terbunuh atau diculik, Atma Jaya atau Trisaksi, nyawa orang kok kayaknya diganti secara murah. Misalnya, keluarga dibayar 900 ribu per bulan selama 5 tahun, sepertinya tidak akan menghilangkan luka dari ibu atau anak dari korban tersebut.
2. Berkaitan dengan ide dan gagasan dialog yang disampaikan oleh capres nomor urut 1 (Anies Baswedan) dan nomor urut 3 (Ganjar Pranowo), apakah yang dimaksud adalah inklusif dialog yang menyertakan orang-orang Papua, yang bukan hanya di Indonesia tapi sporadic di negara luar, atau hanya untuk Papua yang ada di tanah Papua atau Indonesia. Ini juga menjadi pertanyaan, karena yang menjadi korban pelangagran di Papua sejak dulu, banyak sekali dan ada keluarganya juga tidak tinggal di Indonesia. Pertanyaan lainnya adalah peta jalan seperti apa, strateginya, siapa saja yang akan diajak dialog, bagaimaan dialog dijalankan? Kalau dialog dilaksanakan, namun kerucigaan tetap dijalan, maka akan sulit dilaksanakan. Siapa saja dari pihak asing yang akan diajak juga untuk menjadi mitra dialog atau menjadi mediator. Ini suatu yang penting untuk diselesaikan.
3. Pemerintah dalam membangun Papua dan membutuhkan stabilitas politk dan keamanan, karena keamanan Papua juga menyasar kelompok sipil yang kritis pemerintah. Apakah ini juga akan berlanjut? Kita tidak mau juga rezim ini menjadi developmentalis represif, seperti masa orde baru. Pembangunan dijalankan namun ada tindakan opresif juga kepada rakyat agar pembangunan bisa berjalan.
4. Berkaitan dengan isu penculikan aktivis dan Prabowo Subianto: kalau sudah bicara aktivis HAM yang hilang, kalau saya secara pribadi, Prabowo bukan orang yang pro demokrasi atau mengerti demokrasi, tapi buat saya beliau orang yang tidak menginginkan demorkasi di negeri ini. Kalau tidak, tidak mungkin dia menghilangkan, menculik, para aktivis pro demokrasi. Ini bukan masalah setiap lima tahun terpenjara, karena untuk Anis atau Ganjar, bukan dia sebagai pelaku, tapi ketika menjadi Preside apa yang akan ia lakukan atas kasus orang hilang 1998. Kan kalau dia tahu makamnya, bisakan anda menunjukkan? Bisakah anda membantu makam mereka keluarga mereka bisa nyekar, berdoa, dan sebagainya. Dalam hati kecil saya paling dalam, pikiran saya, Prabowo Subianto bukanlah orang yang tepat untuk memimpin Indonesia, karena dia bukan seorang demokrat.
Usman Hamid (Akivis HAM/Direktur Amnesty Internasional Indonesia)
1. Dalam konteks isu dialog yang di sampaikan oleh Capres nomor urut 1 (Anies Baswedan) dan nomor urut 2 (Ganjar Pranowo), ada komitmen yang lebih jelas, dokumen yang lebih jelas; misalnya tadi dialog, dialog seperti apa? Apakah dialog sektoral dan banyak melibatkan CSOs, ini kan baik, tapi terputus. Sebelumnya, pernah ada inisiatif Jeda kemanusiaan itu juga bagus, tapi masih sangat terbatas pada elit tertentu. Itu semua saling melengkapi. Informal dialog sekarang kurang melibatkan CSOs, lebih banyak fokus pada kelompok bersenjatanya.
2. Di luar ide dan langkah dialog ini, secara substansi, ada 2 hal yang sangat mendesak, kenapa dialog perlu dilakukan, yaitu penanganan situasi pengungsi dan pembebasan sandera (pilot susi air asal selandia baru). Keduanya tidak akan bisa dilakukan kecuali dengan genjatan senjata; Makanya, dalam dokumen internasional, tidak akan ada dialog kecuali ada genjatan senjata, sebagaimana di Palestina dan Ukraina. Dalam kasus Papua, yang utama itu. Dengan kasus pelanggaran HAM yang ada, apakah struktur negara kita siap untuk menyelesaikan kasus? rasanya tidak! Perlu mendorong proses, menemui Wapres, menemui Panglima; pengungsi dan sandera, rasanya sudah setahun. Kalau misalkan (sandera) tewas, dampaknya akan sangat sulit untuk penyelesaian Papua ke depan.
3. Eskalasi konflik dan kekerasan di Papua digunakan sebagai tools Aparat negara untuk menggunakan pendekatan keamanan. Perlu terus discounter, 18 kali ke Papua, membagikan uang, seperti seakan Papua hanya uang; itu membuat orang Papua marah, karena bukan Anda yang memberi kami, tapi kami yang memberi anda. Pendekatan ekonomi sudah tidak efektif lagi. Capres-capres ini harus menjajaki itu dan memulai dialog, terbuka, demokratis, seperti di era Gus Dur dan Habibie.
4. Komnas HAM: jeda kemanusiaan itu putus dan tidak dilanjutkan, kalau kita mau dorong KH lagi untuk membuka ini (jeda kemanusiaan), rasanya itu penting, karena Papua tetap membangun dialog. Kajian Lemhanas: Konflik dan eskalasi kekerasan di Papua tidak akan bisa reda bila negara hanya mennggunakan pendekatan konvensional, ekonomi, kesejahtteraan, pembangunan; bahkan dalam kajian lemhanas itu, semakin tinggi ekonomi, semakin tinggi eskalasi konflik. Kekerasan dan konflik ini mempunyai akar yang lain, bukan soal ekonomi atau keterbelakangan ekonomi. Entah itu marginalisasi, pelangagran HAM, sejarah Papua, dan sebagainya, yang dipersoalkan.
5. Dalam menyikapi debat capres putaran pertama, sebagai konklusi jika ditegaskan "maka sebaiknya prabowo sebaiknya dieliminir dari capres atau jangan dipilih.
*Anum Latifah Siregar (Direktur ALDP Papua)*
1. Dalam konteks debat capres putaran pertama, ada capres yang bicara dialog, ada yang tidak; Paslon 1 (Anies-Muhaimin) bicara soal cita-cita menghapus ketidakadilan; Paslon 3 (Ganjar-Mahfud) juga cita-cita; Paslon 2 (Prabowo-Gibran) bicara apa yang sudah dilakukan, tapi fokus pada keamanan. Paslon 2 ini juga Menhan, tidak mendengar juga bagaimana kebijakan keamanan di Papua yang sudah dilakukan, juga tidak tergambar; 2 menit tidak cukup, tapi tidak juga memberikan gambaran tentang bagaimana Papua diselesaikan.
2. Konflik bersenjata di Papua, sudah ada 81 korban terkait konflik. Yang paling penting adalah melakukan evaluasi (review) atas kebijakan keamanan, banyak korban yang sudah ada; ini menjadi kepentingan Negara, karena banyak apparat keamanan yang juga menjadi korban di Papua. Selain itu, juga banyak sekali perdagangan senjata dan amunisi di Papua; bahkan, tahun lalu, Satgas brimobb di satu posko, cuman 1 stayer, gimana bisa hilang; kalau kita bilang transaksi kan ngeri sekali, meskipun ada banyak bukti juga; Ini serius untuk TNI, Polisi, dan Menhan untuk mereview dan memperbaiki kebijakan Keamanan di Papua.
3. Pemerintah menyampaikan tentang penyelesaian HAM non judicial; masyarakat juga kecewa atas proses yang non judicial; tidak tahu pelakunya, tiba-tiba datang, mau memberikan bantuan, akhirnya kan ditolak; dalam kasus penyelesaian pelanggaran HAM di Paniai, kasus ini juga tidak diproses di kasasinya, itu juga harus menjadi catatan pemerintah kalau mau menekkan HAM secara yudisial.***