unescoworldheritagesites.com

DPR Diminta Lebih Kritis Dalam Pembahasan RKUHP - News

 

: Sejumlah pemerhati hukum menyoroti Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai banyak kekurangan di sana-sini. Oleh karena itu, DPR RI sebagai penyambung aspirasi  rakyat diharapkan bisa “menentukan” dalam pembahasan RKUHP sehingga akhirnya KUHP definitive tidak saja akomodatif tetapi juga bagus dan serasi dalam penegakan hukum.

Guru besar hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Achmad dalam diskusi polemik bertajuk "Quo Vadis RKUHP" yang digelar virtual, Sabtu (25/6/2022) mengatakan pembentuk undang-undang belum memenuhi asas legalitas hukum pidana. "Aspek materiil ini memunculkan masalah karena persoalan berkaitan dengan keterpenuhan asas dari sebuah undang-undang, termasuk KUHP," kata Suparji.

Asas legalitas hukum pidana, katanya, harus dipenuhi DPR RI dan pemerintah yakni tercermin dari adanya asas lex scriptalex certalex stricta, dan lex praevia. Pemenuhan 4 asas legalitas dalam hukum pidana itu, tuturnya, akan berdampak pada undang-undang yang terbentuk nantinya. “Pemenuhan atas asas sebuah norma dalam KUHP, jangan multitafsir, abu-abu, dan tidak sampai menimbulkan ketentuan-etentuan yang bisa ditafsirkan secara sepihak. Nah,  aspek substansi pemenuhan asas itu belum terpenuhi," kata Suparji

Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Asfinawati  menyebutkan rapat dengar pendapat (RDP)  membahas  RKUHP di DPR RI beberapa waktu lalu banyak anggota parlemen yang justru mengikut pada kemauan pemerintah. “Kita sebagai masyarakat mengharapkan DPR lebih kritis. Karena ini sekali diketok akan susah lagi diubah," ujar Asfin.

Materiil RKUHP sudah berpuluh-puluh tahun lamanya disusun oleh para pakar, yakni sejak tahun 1984, tetap tak kunjung masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Dalam hal draf,  RKUHP kali ini memang banyak dipersoalkan masyarakat salah satunya adalah terkait norma penyerangan martabat presiden dan wakil presiden.

"RUU KUHP yang merupakan upaya pembaharuan KUHP warisan kolonial tidak harus lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 b, Pasal 137 KUHP. Tentang penghinaan presiden mirip semua berakibat kerusuhan, menghina pemerintah, menghina kekuasaan umum, dengan penyerangan harkat martabat presiden," tuturnya.

Dosen hukum pidana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STHI) Adhyaksa, Adery Ardhan Saputro menilai adanya  ketiadaan harmonisasi delik tindak pidana yang diatur dalam draf RKUHP dengan UU sektoral. Hal ini berdampak kekeliruan dalam menerapkan delik perbuatan sejenis dalam proses penegakan hukum. Bahkan berpotensi adanya perbedaan perlakuan dalam proses hukum acara pidana, seperti penahanan.

Adery mencontohkan pasca disahkannya RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi UU No.12 Tahun 2022, banyak anggota parlemen yang justru mengikut pada kemauan pemerintah.

Dia menilai perlu harmonisasi dengan RKUHP. Khususnya dalam Pasal 6 UU 12/2022 memuat frasa “perbuatan seksual secara fisik”. Persoalannya, RKUHP tidak mengenal “perbuatan seksual secara fisik’, tapi “pencabulan” dan “pemerkosaan”.

Dia menilai perlu melihat secara mendalam soal bagaimana menempatkan “perbuatan seksual secara fisik” dalam gradasi antara pencabulan dan pemerkosaan. Bagi Adery, RKUHP perlu memberikan penjelasan makna perbuatan seksual secara fisik. Kata lain, materi muatan delik yang diatur dalam RKUHP perlu diselaraskan dengan UU sektoral. “Kalau tidak diselaraskan antara UU sektoral dengan RKUHP bakal menjadi celah bagi aparat penegak hukum menerapkan pasal secara keliru di lapangan,” tuturnya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat