unescoworldheritagesites.com

Komisi III DPR RDPU Dengan Koalisi Masyarakat Sipil - News

Romli Atmasasmita

JAKARTA: Komisi III DPR menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Koalisi Masyarakat Sipil membahas mengenai seleksi calon pimpinan (capim) KPK yang tengah dilakukan oleh Komisi III. Diharapkan dengan RDPU ini akan tercipta suasana kondusif terkait Capim KPK.

"Ya,  harapan kita demikian supaya tidak ada kontroversi berkepanjangan antara Komisi III dengan Koalisi Masyarakat Sipil," kata anggota Komisi III Arsul Sani di Jakarta, Selasa (10/9/2019).

RDPU dengan Koalisi Masyarakat Sipil lebih konkritnya membahas uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) Capim KPK. Komisi III juga sebelumnya telah menggelar RDPU dengan Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK untuk meminta keterangan terkait proses seleksi para capim yang akan menjalani fit and proper test.

Sebagaimana diketahui, para Capim KPK telah selesai menjalani proses pembuatan makalah di Komisi III DPR pada Senin (9/92019). Selanjutnya, ke-10 Capim KPK tersebut akan menjalani fit and proper test di Komisi III DPR.

Sementara itu, mantan Ketua Perumus UU KPK Romli Atmasasmita menilai revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK telah melalui pertimbangan filosofis, teleologis, yuridis, sosiologis, dan alasan komparatif dengan pertimbangan filosofisnya, perjalanan KPK selama 17 tahun telah menyimpang dari tujuan awal.

Lembaga antirasuah itu harusnya memelihara dan menjaga keseimbangan pelaksanaan pencegahan dan penindakan dengan tujuan pengembalian kerugian negara secara maksimal. KPK juga harusnya melaksanakan fungsi trigger mechanism melalui koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan. Namun kenyataannya hal itu tidak terlaksana, khususnya sejak KPK jilid III. Kendati begitu dari pertimbangan sosiologis, dukungan masyarakat terhadap KPK tetap stabil walaupun tidak pada semua level birokrasi dan lapisan masyarakat. "Pro dan kontra revisi UU KPK membuktikan bahwa secara sosiologis KPK tidak lagi memperoleh legitimasi yang kokoh secara total dari seluruh masyarakat. Dukungan masyarakat berbeda ketika pembentukan awal KPK," kata Romli.

Dia menyebut keberadaan wadah kepegawaian KPK telah menyimpang dari tujuan pembentukkan berdasarkan PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia. PP tersebut memberikan kewenangan kepada wadah pegawai untuk menyampaikan aspirasi kepada pimpinan KPK melalui dewan pertimbangan pegawai KPK. Kenyataan, wadah pegawai KPK telah berfungsi sebagai pressure group terhadap kebijakan pimpinan untuk memaksakan tuntutannya.

Romli menyebutkan, keterangan calon pimpinan KPK petahana Alexander Marwata bahwa penyidik KPK menolak memberikan berita acara penyidikan kepada yang bersangkutan juga menjadi sorotan. Hal itu menunjukkan telah terjadi pelanggaran disiplin di kalangan pegawai dan penyidik KPK. "Tindakan pelanggaran disiplin mencerminkan pimpinan KPK tidak memiliki wibawa terhadap pegawainya. Keadaan tersebut membuktikan sistem manajeman kepegawaian dan disiplin kerja yang tidak profesional,” kata Romli.

Romli kembali menyebutkan usul revisi UU KPK telah memenuhi persyaratan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Dia juga menyinggung pelanggaran prosedur hukum acara serta prosedur standar KPK dalam penyelidikan dan penyidikan. Ini khususnya dalam hal penetapan tersangka, perampasan aset terdakwa, dan pelaksanaan penyadapan yang dilanjutkan dengan penangkapan. "Penolakan sekelompok masyarakat terhadap perubahan UU KPK tidak dilengkapi dengan data dan fakta hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan.  Hanya mengandalkan opini dan prasangka buruk publik semata," ujar Romli.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat