unescoworldheritagesites.com

Pernyataan Komisi III DPR RI Dan Posisi Nasabah WanaArtha - News

 

 Oleh:  Rudi Adiyaksa, SH

Pernyataan Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada 12 Oktober 2020 terkait kedatangan Pemegang Polis (PP) WanaArtha Life (WAL) ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mereka nilai sebagai bentuk intervensi Majelis Hakim persidangan Jiwasraya dan dianggap tidak etis, sangat melukai hati nasabah WanaArtha.

Bentuk penyampaian keberatan kepada majelis hakim dalam posisi sebagai pihak ketiga beriktikad baik yang diwakili satu dua orang yang mewakili ribuan Pemegang Polis WanaArtha lantaran tidak ada cara lain lagi setelah 8 bulan harus menderita karena hak-haknya tidak bisa dipenuhi oleh manajemen WanaArtha Life akibat penyitaan serampangan oleh Kejaksaan Agung yang dikaitkan dengan pusaran kasus Jiwasraya.

Sebanyak 26 Ribu nasabah WanaArtha meminta majelis hakim untuk memberikan ruang keadilan dan perlindungan sebagai pihak yang tidak bersalah atas atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Cara ini menjadi pilihan yang masuk akal dan tidak ada cara lain untuk ikut intervensi dalam persidangan tersebut karena nasabah korban penyitaan oleh Kejaksaan tersebut bukan sebagai pihak termohon.

Apa yang dilakukan nasabah WanaArtha sama sekali tak melanggar peraturan perundang-undangan. Sebab, hakim memperkenankan nasabah menyampaikan apa yang belum terkuak di persidangan sebagai sebuah informasi.

Lantas apa yang dilanggar? Lagian, Undang-undang pun memperkenankan semua warga negara berhak menyampaikan aspirasi dan keberatannya. Terlebih yang mereka perjuangkan adalah hak asasi atas polis yang dilindungi konstitusi. Ingat, kemerdekaan berpendapat dijamin pelbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Dari yang paling fundamental dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Pasal 28 : kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Lalu pasal 28 E ayat (2) : setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 28 E ayat (3) : setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Pasal 28 F : setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Selain itu, UU RI Nomor 9 Tahun I998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pasal 1 angka 1 menegaskan: kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 2 ayat 1 : yang menyatakan setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Belum lagi, Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memerhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.

Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) menyebut: Pasal 19 : Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).

Pasal 20 ayat 1 dan 2 : Setiap orang berhak dan bebas untuk berkumpul dan berserikat secara damai. Tidak seorang pun yang dapat dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan. Apa yang dilakukan Pemegang Polis WanaArtha semata-mata untuk mencari keadilan. Meminta pihak Kejagung membuka rekening PP yang disita. Bersuara di muka pengadilan hanya lah satu cara dalam menyampaikan aspirasi. Banyak cara lain yang sudah dilakukan PP WanaArtha dari mulai menemui petinggi Kejagung, melakukan upaya hukum class action, melakukan audiensi dengan Komisi XI DPR RI, menyampaikan permohonan keberatan sita kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat yang memeriksa perkara Jiwasraya sampai pada menyurati Komisi III DPR RI, Komisi Kejaksaan, Mahkamah Agung, bahkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Aksi Damai Ria

Aksi Damai Ria (ADR) yang dilakukan PP WAL sebenarnya merupakan salah satu wujud dan sarana penyampaian aspirasi dan permohonan dari nasabah kepada seluruh stakeholders terkait kasus penyitaan dan pemblokiran Sub Rekening Eefek (SRE) WAL oleh Kejagung. Penyampaian aspirasi dan permohonan dari PP WAL dalam bentuk ADR ini merupakan wujud Kemerdekaan Berpendapat di Muka Umum termasuk di Media Massa.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat