unescoworldheritagesites.com

Kekerasan Seksual oleh Guru Ngaji, KemenPPPA Pastikan Korban Mendapat Perlindungan - News

Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar

 
 
: Terkait tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang dilakukan  terduga pelaku oknum Guru Ngaji di Kabupaten Sleman, Provinsi D.I. Yogyakarta terhadap anak didiknya, memperoleh kecaman keras dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). 
 
Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar menegaskan pihaknya akan terus memantau kasus kekerasan seksual tersebut. 
 
Dia juga memastikan adanya pendampingan proses hukum serta pemulihan baik secara fisik maupun psikis bagi korban kekerasan seksual itu. 
 
 
“Kami sangat menyesalkan kembali terjadinya tindak pidana kekerasan seksual, berupa pencabulan dan persetubuhan yang dilakukan oleh terduga pelaku oknum Guru Ngaji terhadap anak didiknya," tutur Nahar, di Jakarta, Rabu (3/5/2023). 
 
Sejauh ini, lanjutnya, informasi yang didapatkan, empat orang korban sudah melapor kepada Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Sleman, serta telah mendapatkan pendampingan psikologis dan hukum.
 
"Namun, diduga masih ada sembilan orang korban tambahan yang perlu didalami.” ucapnya 
 
Berdasarkan informasi yang diterima  Tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129, tindakan asusila yang dilakukan terduga pelaku oknum Guru Ngaji terhadap anak didiknya itu, sudah dilakukan sejak awal tahun 2022 dan berlangsung hingga Desember 2022. 
 
 
Terduga pelaku melancarkan aksinya dengan ancaman dan memberikan doktrin keagamaan bahwa korban harus menuruti segala hal yang diperintahkan. Tercatat korban berusia 6 – 16 tahun dan satu orang korban dipaksa hingga berhubungan intim yang dilakukan secara berkali-kali. 
 
Saat ini, terduga pelaku telah diamankan dan ditahan di Polres Kabupaten Sleman sejak 20 April 2023 silam.
 
“Tim SAPA 129 bersama UPTD PPA Kabupaten Sleman pun akan terus memantau dan memastikan, korban mendapatkan perlindungan dan pemulihan sebagaimana dibutuhkan," kata Nahar. 
 
 
Tim dari UPTD PPA Kabupaten Sleman turun untuk berkoordinasi dengan Kepolisian dan Kemensos, terkait perkembangan proses hukum dan penanganan korban, juga melakukan pemetaan di lokasi. Untuk menggali potensi adanya korban baru dan saksi. 
 
Usai mendapatkan data dari pemetaan korban, kami akan melakukan rapat koordinasi penanganan dan pendampingan korban bersama Kementerian Agama (Kemenag), Kemensos, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD), Puskesmas, dan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA),” tutur Nahar.
 
Lebih lanjut, dikemukakannya, para korban yang telah melapor saat ini sudah mendapatkan pendampingan psikologis secara komprehensif. Demi memastikan tidak adanya traumatis berkelanjutan, baik jangka pendek ataupun jangka panjang.
 
 
Sehingga, korban nantinya dapat kembali menjalankan kehidupannya dengan normal. Lingkungan keluarga dan masyarakat yang mendukung pun dapat memberikan dampak yang positif bagi pemulihan korban dari traumanya. 
 
Selain pendampingan psikologis, korban pun mendapatkan pendampingan secara hukum. Dia menjelaskan, atas tindakan terduga pelaku dengan melakukan persetubuhan dan pencabulan terhadap korban, jika memenuhi unsur Pasal 76D dan 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. 
 
Maka, ancaman hukumannya diatur dalam Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
 
 
Selain itu, dikenakan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, serta diberikan tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan pendeteksi elektronik.
 
“Bagi korban anak, berhak mendapatkan ganti kerugian atau restitusi atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana dan penggantian biaya perawatan medis dan atau psikologis sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak Korban Tindak Pidana," kata Nahar. 
 
Hal itu, ujarnya, juga sesuai dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Yang menjelaskan, korban tindak pidana kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat