unescoworldheritagesites.com

Majelis Hakim PN Bekasi Dilaporkan Ke Bawas, KY Dan MA - News

Kuasa hukum Raja Tahan Panjaitan. (FOTO: Ist).

BEKASI: Kuasa Hukum penggugat dalam perkara gugatan perceraian telah melaporkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bekasi ke Badan Pengawas (Bawas),  Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

Hal itu disampaikan oleh kuasa hukum penggugat, Raja Tahan Panjaitan. Ia mengatakan, pelaporan majelis hakim PN Kota Bekasi terkait dengan “Abuse of Power” atau penyalahgunaan kekuasaan.

"Adapun “Abuse of Power” yang menurut hemat kami telah dilakukan oleh majelis hakim diantaranya sebagai berikut: 

Pertama, sebelum pemeriksaan pokok perkara a qou dilakukan, upaya mediasi sesuai aturan Perma Nomor: 01 Tahun 2016 telah terlebih dahulu ditempuh, namun deadlock (mengalami jalan buntu atau tidak berhasil). Kedua, seiring berjalan pemeriksaan pokok perkara, majelis hakim tersebut juga berusaha untuk mendamaikan dengan berbagai cara, akan tetapi upaya yang dilakukan tetap gagal dan mengalami kebuntuan.

Ketiga, selama pemeriksaan perkara a quo, majelis hakim tidak profesioanal dan mengabaikan azas peradilan yang baik (azas pemenksaan yang cepat, sederhana, dan biaya nngan, sebagaimana amanat pasal 2 (dua) ayat 4 UU RI No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) karena terkesan mengikuti permintaan tergugat untuk menunda-nunda pemenksaan saksi Penggugat yang diketahui keberadaannya datang dari luar Bekasi (Pekan Baru dan Sumatera).

Keempat, dalam putusannya, majelis hakim tersebut terkesan tidak berdasar hukum dan cenderung mengada-ada karena menyebut gugatan penggugat premature dan tidak dapat diterrma dengan alasan pertimbangan hukum: bahwa Penggugat dan Tergugat adalah orang Batak, dimana menurut adat batak," paparnya dalam keterangan pers pada Rabu (24/11/2021).

Menurutnya, perceraian adalah cacat besar bagi keluarga besar. Jadi, harus melibatkan lembaga adat batak yang bernama Dalihan Natolu untuk menyelesaikan masalahnya

Kelima, majelis hakim telah melanggar asas-asas peradilan hukum perdata yaitu: azas bahwa hakim dalam pemenksaan perkara perdata harusiah bersifat pasif atau diam. 

Artinya, hakim hanya bersifat menunggu pembuktian dari para pihak berperkara yang bertujuan untuk menghindan adanya pertimbangan hukum bersifat subyektif dan harus berdasar bukt dan fakta-fakta di persidangan yang diajukan oleh para pihak. 

Namun dalam hal ini, majelis hakim tersebut telah melanggar azas tersebut, dimana dalam pertimbagan hukumnya menyebut bahwa perceraian adalah Ultimun Remedium, sehingga gugatan penggugat disebut prematur.

Keenam, majelis hakim dalam putusannya tidak berdasar secara hukum dan cenderung mengada-ada. Karena telah mendasarkan keputusan a dan ketentuan norma-norma adat batak yaitu Dalihan Natolu bukan berdasar ketentuan UU RI No. 01 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah PP No. 09 Tahun 1975.

"Padahal, dalam gugatan sudah sangat jelas dan terang menyatakan, gugatan perceraian yang diajukan terhadap Tergugat karena disebabkan tidak terpenuhi lagi tujuan dari perkawinan itu sendiri, sebagaimana amanat undang-undang No.01 Tahun 1974," ujarnya.

Ketujuh, seandainya quo non benar penggugat sebelum mengajukan gugatan cerai harus terlebih dahulu melalui lembaga adat Batak Dalihan Natolu seperti pertimbangan hukum majelis hakim. Penggugat dan Tergugat tentu harus dinyatakan terlebih dahulu telah sah menikah secara adat Batak. 

"Namun dalam proses pemeriksaan diperoleh fakta bahwa pernikahan penggugat dan tergugat belum diakui secara adat Batak. Oleh karenanya, dalil pertimbangannya tdak mencerminkan suatu kepastian hukum bagi para pencari keadiian khususnya untuk orang Batak," katanya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat