unescoworldheritagesites.com

Membongkar Penyebab Lambatnya Penurunan Stunting di Indonesia, Ini Kata Pakar Gizi - News

Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama PP Aisyiyah, PP Muslimat NU dan para mitra menggelar urun rembug nasional menyoroti rendahnya literasi gizi masyarakat karena pola makan anak-anak dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman gizi kepada keluarga (AG Sofyan)

: Kebiasaan mengkonsumsi pangan mengandung gula tinggi diyakini sebagai salah satu penyebab lambatnya penurunan persoalan stunting cukup tinggi di Indonesia. 
 
Penyebab lainnya adalah akibat masyarakat terlalu minim terhadap literasi gizi dan adanya disparitas sosial ekonomi masyarakat 
 
Untuk itu, pemerintah bersama swasta, akademisi, organisasi masyarakat, dan media perlu satu suara mengatasi stunting.
 
 
Stunting adalah ujung dari persoalan rendahnya literasi gizi masyarakat. Literasi gizi atau pemahaman dan kesadaran gizi masyarakat ikut mempengaruhi pola asuh dan pola konsumsi keluarga. 
 
Keluarga tanpa pemahaman gizi yang baik cenderung tidak memerhatikan asupan gizi anak, sehingga anak terbiasa mengkonsumsi makanan yang mereka suka, seperti makanan dan minuman dengan kandungan gula garam lemak yang tinggi.
 
Demikian pendapat yang mengemuka dalam urun rembuk yang dilakukan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama PP Aisyiyah, PP Muslimat NU dan para mitra, di Jakarta, Kamis (14/12/2023). 
 
 
Dalam kesempatan itu, Guru Besar Gizi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Tria Astika EP, M.KM., memberikan respon mengenai kebiasaan konsumsi kental manis oleh balita. 
 
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ditemukan sebanyak 11,4% balita di Banten, 8,4% di DKI Jakarta dan 5,3% di DI Yogyakarta mengonsumsi kental manis. 
 
Tidak hanya itu, 78,3% responden di Banten, 88,1% di DKI dan 95,2% di DI Yogyakarta memberikan kental manis kepada balitanya lebih dari 1 sachet per hari.
 
Adapun faktor utama pemberian kental manis pada anak ini disebabkan oleh persepsi masyarakat di tiga wilayah ini yang masih menganggap kental manis adalah susu. 
 
 
“Mengapa studi ini menjadi penting karena pola makan yang terbentuk sejak balita akan terbawa terus hingga dewasa. Sehingga kebiasaan memberikan kental manis untuk anak dan balita ini harus dicegah sedini mungkin supaya tidak berlanjut," tegasnya. 
 
Penelitian sebelumnya juga menunjukkan balita secara alamiah sangat suka makanan manis, terlebih lagi ketika ada paparan gula tambahan di dalam makanan. 
 
Sementara Ketua Bidang Advokasi YAICI, Yuli Supriati menyoroti kampanye penanganan stunting yang selama ini digaungkan nyatanya tidak berdasar pada persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. 
 
“Selama ini narasi mengatasi stunting adalah dengan ASI ekslusif. Ibu itu sejatinya bukannya tidak mau memberikan ASI eksklusif untuk anaknya, tapi karena tidak mampu, karena bekerja, karena kondisi kesehatan atau ibu telah meninggal. Anak-anak yang tidak mendapat ASI eksklusif ini larinya ke kental manis,” jelas Yuli membeberkan temuan-temuannya saat berdialog dengan masyarakat. 
 
 
Roesmarni Rusli, dari Repdem dalam kesempatan itu mempertanyakan mekanisme pengawasan peredaran produk dengan kandungan gula yang tinggi di masyarakat. 
 
“Produk kental manis ini berdasarkan PerBPOM NO 31 th 2018, sudah di atur bahwa pada labelnya tidak boleh menyertakan kata susu, seharusnya di tulis krimer kental manis. Sekarang, kalau kita lihat, pada kemasan kental manis kembali lagi mencantumkan susu kental manis. Ini apakah BPOM kembali mengubah peraturannya atau memang tidak ada pengawasan terhadap ini?” tanya Roesmarni kritis. 
 
Penata Kependudukan dan KB ahli madya Dr Maria Gayatri SSi MAPS yang turut hadir dalam kesempatan itu mengakui, persoalan kental manis seharusnya mendapat perhatian lebih serius. 
 
“Susu kental manis ini jarang sekali dibahas di BKKBN, nanti akan disampaikan ke pimpinan,” ujar Maria.
 
 
Lebih lanjut, ia mengatakan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) saat ini sedang melakukan audit kasus stunting. Hal ini untuk mengetahui faktor-faktor risiko penyebab stunting. 
 
Informasi Salah Terlalu Masif
 
Dokter anak  RS Mayapada dr. Kurniawan Satria Denta, M.Sc, Sp.A yang turut hadir dalam kesempatan itu mengatakan salah satu kunci mencegah stunting adalah kualitas protein yang diberikan untuk anak. 
 
“Protein yang paling baik adalah protein hewani, telur, ikan susu, ini jenis protein hewani yang tersedia di sekililing kita,” jelasnya. 
 
Selain itu, ia juga menyoroti masifnya informasi yang beredar di masyarakat juga memicu pola makan yang salah pada anak. 
 
 
“Di Tik Tok saya lihat, ada ibu-ibu memberikan kental manis untuk anak yang belum 1 bulan. Saat ibu-ibu lain melihat dan mereka tidak dibekali edukasi gizi yang cukup, bisa saja dia meniru perilaku ini. Ini menurut saya juga harus diatasi,” tegasnya. 
 
Ketua Bidang Advokasi YAICI, Yuli Supriati menyatakan pihaknya  dengan para mitra berkomitmen untuk terus meningkatkan upaya edukasi, memperkuat pemahaman tentang gizi yang baik, dan bekerja sama dengan pemerintah daerah serta pihak terkait guna mengatasi akar permasalahan yang menyebabkan gizi buruk dan stunting. 
 
"Hasil dari urun rembuk bersama para mitra tersebut diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintaha dan seluruh stakeholder terkait untuk bersama-sama bergerak mengatasi stunting," pungkasnya***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat