unescoworldheritagesites.com

Tidak Ada Primodialisme Berbasis SARA Yang Dapat Memecah Persatuan Dan Kesatuan - News

JAKARTA:  Forum Mahasiswa dan Pemuda Pengawal NKRI (FMPP NKRI) meyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Damai di Bumi Cenderawasih, Kita Semua Bersaudara” di Kedai Kopi Perjuangan Jalan Proklamasi Jakarta, Selasa (24/9/2019).

Pembicara yang hadir antara lain  Plt. Dirjen Otda Kemendagri Akmal Malik; Plt. Kepala Biro Humas Kemenkominfo  Ferdinandus Setu, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama RI Aliefosra Nur; dan Ketua Forum Lintas Suku Bangsa Alan MS.

“NKRI harga mati meliputi wilayah Sabang sampai Marauke, Miangas hingga Pulau Rote.  Papua termasuk di dalamnya dan tidak dapat dipisahkan”, demikian disampaikan oleh   Ketua FMPP NKRI Sudirman Hasyim.  Kenyataan ini harus dipahami oleh seluruh kompenen bangsa  Indonesia,  sehingga tidak ada primodialisme  berbasis SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang dapat memecah persatuan dan kesatuan.

 Isu rasisme yang berdampak konflik antar bangsa terjadi belakangan ini tidak boleh terjadi lagi, karena hanya merugikan semua pihak. Stabilitas Papua sudah baik, karena masyarakat Papua pada umumnya sudah memahami arti penting berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI.   

“Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus di Papua perlu dievaluasi agar kesejahteraan menyeluruh bagi masyarakat Papua”, kata Plt. Ditjen Otda Kemendagri Akmal Malik. Program pemerintah RI untuk terus memajukan Papua telah berjalan dengan baik, namun belum tuntas 100%, tentunya ada tahapan yang harus dilalui. Pada aspek pengembangan SDM, program afirmasi bagi mahasiswa Papua telah berjalan, dan ribuan mahasiswa Papua dapat mengenyam pendidikan berkualitas di berbagai Perguruan Tinggi di seluruh wilayah Indonesia, layaknya mahasiswa dari berbagai daerah. 

Plt Kepala Biro Humas Kemenkoinfo Ferdinandus Setu dalam paparannya mengatakan “kebijakan take down layanan data di Papua  pada saat terjadi kerusuhan beberapa waktu lalu, adalah dalam rangka menghindari semakin buruknya situasi. Berbagai berita hoaks viral, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengklarifikasi kebenaran berita tersebut. Masyarakat termakan isu yang tidak benar sehingga memunculkan amarah tak terkendali”. Namun demikain layanan seluler tatap dapat digunakan.  

Heterogenitas bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang tidak dimiliki bangsa lain di dunia ini. 

“Keniscayaan ini menjadi modalitas untuk saling mengenal satu sama lain, sehingga terbangun persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia”, kata Alan MS Ketua Forum Lintas Suku Bangsa.  Sumpah Pemuda 1928 sebagai konsensus nasional yang dihadiri oleh seluruh anak bangsa dari berbagai suku merupakan milestone kebulatan tekad untuk bersatu dalam bingkai NKRI. Kondisi bangsa telah berubah, pasca Sumpah Pemuda. 

Serangkaian aksi dan gerakan pemuda atau mahasiswa pada masa lalu tentunya didasari rasa cinta terhadap Indonesia. Rasa cinta yang menggelora itu dibarengi pula oleh kecerdasan intelektual, ketajaman berpikir, dan semangat pergerakan. Sekarang mungkin berbeda, rasa cinta negeri sendiri tak sekuat dulu. Dari segi budaya misalnya, pemuda Indonesia kini barangkali lebih hafal dan lebih mengenal budaya asing dibanding budaya sendiri.

 Ramai pemuda-pemuda sekarang ini menggandrungi budaya Korea Selatan, Jepang dan lainnya, lalu lupa akan budaya Indonesia atau budaya di daerahnya sendiri. 

Ada dua kebiasaan yang kini mulai berkurang di kalangan pemuda dan mahasiswa: banyak membaca dan berdiskusi. Padahal, dua hal inilah yang memengaruhi kualitas seseorang. Dua hal ini juga akan melatih ketajaman berpikir, analisis, serta masuknya pengetahuan, wawasan, dan inspirasi. Tentunya masih ada memang yang gemar membaca dan berdiskusi, namun jumlahnya sedikit.

Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama RI Aliefosra Nur dalam sambutannya mengatakan “pemerintah menjamin rakyatnya untuk beribadah menurut agama yang diakui oleh undang-undang”. Kerukunan umat beragama di Indonesia menjadi benchmark berbagai negara di dunia, karena dapat berjalan secara harmonis.  Keharmonisan antar umat beragama di Indonesia merupakan bentuk toleransi nyata dan tumbuh berkembang ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara.  Oleh karena itu, konflik yang dipicu isu rasial belakangan ini terjadi karena  simpang siur pemberitaan yang menyesatkan masyarakat umum. 

Konflik mudah disulut oleh provokasi dan agitasi berbasis SARA,  sehingga mengorbankan berbagai kepentingan anak bangsa.  ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat