unescoworldheritagesites.com

Satu Data Indonesia: Antara Ada Dan Tiada - News

 

Oleh: Akbar Hiznu Mawanda, SH, MH

Indonesia sepertinya tidak pernah lepas dari permasalahan yang berhubungan dengan data. Seolah tak pernah belajar dari pengalaman yang lalu, Indonesia kembali menghadapi permasalahan yang serupa saat menangani pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Permasalahan tersebut adalah ketidaksinkronan data yang dihasilkan oleh tiap lembaga pemerintah. Salah satu bukti sahih dari ketidaksinkronan data dalam upaya pemerintah untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 adalah masih adanya perbedaan data jumlah kasus positif Covid-19. Ambil contoh, data jumlah pasien Covid-19 di Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 7 Mei 2020 pukul 10.00 WIB. Berdasarkan situs web corona.jakarta.go.id yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, jumlah kasus positif Covid-19 di wilayah Provinsi DKI Jakarta berada di angka 4.709. Sedangkan di situs web covid19.go.id yang dikelola oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada waktu yang bersamaan menampilkan angka 4.770 kasus positif Covid-19 di wilayah DKI Jakarta. Ada selisih 61 kasus positif antara versi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Contoh lain dapat juga dilihat di wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Jumlah kasus positif Covid-19 di wilayah tersebut versi pemerintah pusat pada tanggal 7 Mei 2020 pukul 10.00 WIB adalah 98 kasus positif. Sedangkan versi Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau berada di angka 69 kasus positif. Terdapat selisih sejumlah 29 kasus positif.

Sengkarut data ini kemudian merembet ke permasalahan pembagian bantuan sosial untuk wilayah yang telah dinyatakan sebagai wilayah yang diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Adanya perbedaan data yang terdapat pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), Program Keluarga Harapan, dan Penerima Bantuan Pangan Non-Tunai berujung pada kericuhan saat pemberian bantuan sosial. Ada warga yang mendapatkan bantuan ganda namun ada juga warga yang tidak mendapat bantuan sosial sama sekali.

Dalam tata kepemerintahan, data memegang peranan yang sangat strategis. Data yang tidak valid atau tidak mutakhir akan menghasilkan kebijakan atau keputusan yang tidak hanya buruk namun juga dapat membahayakan nyawa seseorang.

Sayangnya Indonesia kerapkali terjebak dalam lubang yang sama yaitu tidak sinkronnya data yang dihasilkan oleh masing-masing lembaga pemerintah. Perbedaan standar yang digunakan dan egosektoral menjadi dua sumber masalah yang menyebabkan tidak sinkronnya data ini. Tentu pemerintah tidak abai dengan kondisi ini. Berbagai macam solusi telah dikeluarkan namun belum ada yang benar-benar mujarab untuk menyelesaikan permasalahan ini. Solusi terkini yang ditawarkan oleh Presiden Joko Widodo untuk mengentaskan buruknya manajemen data di Indonesia adalah Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.

Data Masih Kacau

Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 diproyeksikan menjadi solusi pamungkas untuk menyelesaikan sengkarut manajemen data Indonesia yang sudah menahun. Regulasi ini sendiri cukup komprehensif mengatur tentang manajemen data di Indonesia. Mulai dari pengelolaan data, pihak yang menyelenggarakan satu data Indonesia, bahkan sampai dengan pembatasan akses data yang dihasilkan diatur dalam peraturan presiden tersebut.

Namun apabila ditelaah lebih lanjut, banyak pengaturan dalam regulasi ini yang tidak cukup jelas dan cenderung tidak praktis sehingga tidak implementatif. Ketidakpraktisan regulasi ini terlihat dari gemuknya organisasi penyelenggara satu data di Indonesia. Dalam peraturan presiden ini, penyelenggara satu data di Indonesia dibagi menjadi penyelenggara tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang mana di masing-masing tingkat terdapat unsur Forum Satu Data, Pembina Data, Wali Data, dan Produsen Data. Melihat fungsinya, banyaknya forum satu data ini mengesankan ketidakpercayadirian pemerintah dalam mengendalikan Wali Data dan Produsen Data khususnya tingkat daerah sehingga perlu ada forum data di setiap tingkat.

Ketidakjelasan regulasi juga terlihat dalam peraturan presiden ini. Salah satu contohnya dapat dilihat di dalam pengaturan Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 15 ayat (2) yang mengatur bahwa Wali Data dan Produsen Data tingkat pusat akan diatur dalam Peraturan Menteri, Peraturan Lembaga, dan Peraturan Badan. Ketentuan ini berpotensi menimbulkan keruwetan kebijakan karena tidak jelasnya lingkup siapa yang berwenang membuat pengaturan Wali Data dan Produsen Data tingkat pusat. Permasalahan kewenangan ini juga muncul ketika berbicara tentang produsen data dan wali data tingkat daerah.

Selain permasalahan di atas, faktor lain  yang menyebabkan peraturan presiden ini belum implementatif, terlebih dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, adalah masih minimnya lembaga pemerintah yang ditunjuk sebagai Pembina Data dan belum ditetapkannya Data Prioritas.

Pembina data memegang peranan sangat sentral dalam Peraturan Presiden Satu Data Indonesia. Di dalam peraturan presiden tersebut, Pembina data diberi tugas untuk menetapkan standar data dan format metadata yang berlaku lintas instansi pemerintah serta melakukan pembinaan data terhadap tema data yang menjadi tanggung jawabnya dan melaksanakan pemeriksaan ulang terhadap Data Prioritas.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat