unescoworldheritagesites.com

Pengamat Menilai, Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Usia Capres-Cawapres Diduga Sarat Nepotisme - News

ilustrasi

 

:  Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan ketentuan mengenai syarat batasan umur calon presiden dan calon wakil presiden. Putusan ini diambil berdasarkan perkara gugatan atas batas umur saat ini yaitu 40 tahun. Ketentuan tersebut diatur melalui UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pada amar putusan No. 90/PUU-XXI/2023, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon dengan menafsirkan ketentuan tersebut menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Baca Juga: Ini Sosok Wakil Ketua MK Saldi Isra yang Sentil Adik Ipar Jokowi Menohok dan Viral
Proses pengambilan putusan MK yang saat ini diketuai oleh Anwar Usman, ipar dari Presiden Joko Widodo, telah memunculkan adanya dugaan nepotisme sehubungan dengan keputusan tersebut. Hal ini tidak terlepas dari adanya kemungkinan salah satu anak Presiden Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka, yang saat ini menjabat Walikota Kota Solo, menjadi disandingkan dengan salah satu calon presiden.

Putusan MK tersebut kemudian sangat membuka jalan bagi pencalonan Gibran Rakabuming tersebut. Menurut Boedi Rheza, pengamat politik dan analis kebijakan, putusan ini justru melampaui kewenangan MK sendiri. “MK seharusnya hanya sebagai penguji apakah perkara mengenai peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, bukan untuk memunculkan ketentuan baru”.

Baca Juga: Pengacara PROKLAMASI Yakin Gugatan ke MK Terkait Litsus Rekam Jejak Capres - Cawapres Dikabulkan
Menurut Boedi Rheza, putusan ini sangat kental dengan aroma nepotisme atau ‘kekeluargaan’. Posisi Ketua MK sebagai paman atau om dari Gibran Rakabuming, menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari dugaan adanya pemaksaan kepentingan untuk memuluskan langkah Gibran Rakabuming untuk menjadi cawapres. “Saya rasa, publik juga melihat hal ini dalam proses keputusan MK. Tidak lagi berdasar pada opini dari masing-masing hakim anggota, namun sangat kental atas kepentingan nepotisme demi kontestasi politik tahun 2024”.

Ia juga menyoroti tentang proses pengambilan keputusan MK tersebut yang mengabaikan dissenting opinion dari 4 hakim MK yang menolak permohonan tersebut diantaranya Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo. Sementara dua hakim anggota yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foech memiliki concurring opinion atau alasan berbeda mengenai amar putusan.

Menurut Hakim Enny Nurbaningsih, amar putusan seharusnya mensyaratkan usia paling rendah 40 tahun dan berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Sementara menurut hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, amar putusan seharusnya Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi."

Hakim konstitusi Saldi Isra mengungkapkan bahwa putusan MK mengenai Batasan usia capres dan cawapres berubah saat Ketua MK, Anwar Usman terlibat. Saldi mengungkap, secara keseluruhan, terdapat belasan permohonan uji materi syarat usia capres-cawapres yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Meskipun demikian terdapat lima perkara yang kemudian dilanjutkan. Tiga perkara yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengarkan keterangan presiden, DPR, pihak terkait, dan ahli yaitu perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023.

Ketiga perkara ini kemudian dilanjutkan sampai pada Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Hasil kesepakatan RPH terhadap tiga perkara tersebut adalah bahwa enam hakim konstitusi, MK sepakat menolak permohonan pemohon. Enam hakim juga tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang. Pada RPH ini, Anwar Usman tidak terlibat.

Sementara dua perkara lagi yaitu perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan nomor 91/PUU-XXI/2023 yang juga menyoal syarat usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu, MK kemudian menggelar RPH, yang diikuti oleh Anwar Usman. Keputusan RPH yang kedua berbeda dengan keputusan RPH yang pertama, dengan membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

“Baru kali ini perbedaan putusan MK yang sangat jauh terhadap perkara yang sama” Ujar Boedi Rheza. Ia melihat bahwa perbedaan keputusan MK tersebut dapat berdampak buruk terhadap kontestasi politik tahun depan. “Jika ingin membuka jalan bagi generasi muda untuk menjadi capres dan cawapres, seharusnya dilakukan dari beberapa waktu sebelumnya, tidak mendadak menjelang pendaftaran capres dan cawapres” imbuhnya.

Boedi Rheza juga mengatakan bahwa perbadaan putusan ini dapat berimplikasi buruk terhadap MK sebagai lembaga penguji peraturan perundang-undangan. “Perbedaan putusan atas perkara yang sama tersebut, dapat mencederai kepercayaan publik terhadap MK sebagai institusi. Apalagi mengingat aroma nepotisme dalam politik sangat kuat mewarnai putusan ini” tutupnya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat