unescoworldheritagesites.com

PDIP Peringati Peristiwa 27 Juli dan Minta Komnas HAM Usut Aktor Intelektualnya - News

 

: Bagi DPP PDI Perjuangan, DPD PDIP, DPC PDIP tanggal 27 Juli 1996 punya makna tersendiri yang sulit dilupakan. Oleh karena pada tanggal, bulan dan tahun itu terjadi peristiwa bersejarah yang menyakitkan. Maka pada tanggal 27 Juli 2022 ini pun, DPP PDIP menggelar tabur bunga untuk memperingati peristiwa menyedihkan  berupa penyerangan kantor DPP PDIP pada 27 Juli 1996  di kantor DPP PDIP Jalan P Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat.

Acara peringatan, Rabu (27/7/2022), dipimpin Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bersama Ketua DPP Ribka Tjiptaning,Yanti Sukamdani, mantan tim pembela PDIP Tumbu Saraswati, anggota DPR Nyoman Parta serta puluhan keluarga korban yang biasa disebut Forum Komunikasi Kerukunan (FKK). Mereka terlebih dahulu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya disusul Hasto dan Ribka memberikan orasi untuk mengenang peristiwa yang kerap disebut Kasus Kudatuli atau Sabtu Kelabu tersebut.

Ribka menyebut saat itu ada dukungan masyarakat yang memberi kekuatan terhadap Megawati Soekarnoputri melawan kekuatan Orba. "Sekarang masuk tahun ke-26 memperingati Kudatuli. DPP PDI Perjuangan menginginkan terus diusut kasus ini. Kita juga sudah ke Komnas HAM. Kita minta jangan hanya bawahan pelaksana saja yang ditangkap tetapi aktor intelektualnya, apapun pangkatnya. Mereka semua masih bekeliaran tanpa proses hukum,” harap Ribka.

Baca Juga: Pendidikan Kader Pratama PDI Perjuangan Dapat Lahirkan Embrio Kepemimpinan

Hasto mengatakan, PDIP tak pernah melupakan satu peristiwa yang sangat penting yang mana 27 Juli 1996 sebenarnya merupakan suatu rangkaian yang sangat panjang. Dia minta diusut, sehingga aktor intelektualnya bisa bertanggung jawab.”Siapapun yang menjadi aktor-aktor intelektual terhadap serangan Partai Demokrasi Indonesia saat itu, harus dituntut di muka hukum biar keadilan betul-betul ditegakkan,” kata Hasto.

Kendati peristiwa sudah terjadi pada 26 tahun silam, pengusutan hukum kasus tersebut harus tetap dilaksanakan. “Ibu Mega kala itu mengingatkan agar dengan turun ke bawah, menyatu dengan kekuatan rakyat, menangis dan tertawa dengan rakyat, itu sejatinya memahami hakekat paling dasar kekuasaan politik yang berasal dari rakyat,” ungkap Hasto. Kasus 27 Juli mengajarkan intisari kekuatan partai yang berasal dari rakyat  menjadi sesuatu kekuatan moral yang maha dasyat.

Tragedi Kudatuli diawali dengan adanya konflik internal partai saat Konggres IV PDI yang menetapkan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Hari pertama Kongres IV PDI di Medan, Sumatera Utara, diwarnai kericuhan kemudian pengambilalihan pimpinan sidang dan penerobosan sekitar 400 orang ke ruang kongres. Sidang tersebut akhirnya dipimpin oleh Yacob Nuwa Wea yang mengaku sebagai fungsionaris DPP PDI Peralihan.

Baca Juga: Megawati Soekarnoputri Tidak Ingin PDI Perjuangan Diisi Oleh Kader Karbitan

Dua kubu yang berkonflik adalah kubu yang mendukung Soerjadi dan Megawati Soekarnoputri. Putusan dari Menkopolkam Soesilo Sudarman yang mengatakan Kongres Medan tidak sah dan akan digelar Kongres Luar Biasa di Surabaya tetapi gagal. Megawati pun menyatakan diri sebagai Ketua Umum PDI secara de facto dan dikukuhkan di Kemang, Jakarta Selatan melalui Musyawarah Nasional PDI pada 22 Desember 1993. Sementara Soerjadi memutuskan sebagai ketua umum dari hasil KLB. Dia sendiri yang membentuk panitia penyelenggara KLB di Medan pada 23 Juni 1996.

PDI kubu Megawati tak menerima hasil Kongres Medan. Keduanya memperebutkan DPP tersebut dan berupaya menjaga serta mempertahankann. Pendukung Megawati menggelar mimbar bebas setiap hari di DPP PDI Jalan Diponegoro sampai akhirnya muncul tudingan mimbar tersebut sebagai makar.

Megawati membantah.”Kami hanya ingin menjaga harga diri warga yang porak-poranda dengan adanya Kongres Medan," kata Megawati pada Juli 1996.***

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat