unescoworldheritagesites.com

Pajak, Ditaati atau Disiasati? - News

Dr Edy Purwo Saputro SE, MSi (Ist)

Oleh Dr Edy Purwo Saputro SE, MSi

: Penerimaan negara pada 2 tahun kemarin saat pandemi memang terdampak sehingga di masa endemi ini menjadi muara untuk memacu penerimaan perpajakan. Oleh karena itu, penerimaan sampai semester I 2022 ini merupakan tantangan untuk pencapaiannya pada akhir tahun ini.

Terkait hal ini secara teoritis pajak yaitu pungutan oleh negara untuk kepentingan pendanaan pembangunan, sementara di sisi lain ada komitmen untuk mempertahankan kemandirian. Padahal, selama ini anggaran negara ditutup hutang luar negeri yang akumulasinya terus meningkat tiap tahun. Realita 2 tahun terakhir menjadi mimpi buruk terkait perpajakan dan pendanaan negara karena di satu sisi penerimaan perpajakan menurun sementara beban pendanaan terus saja meningkat, termasuk juga untuk pembiayaan pandemi dan dampak sistemiknya.

Belajar bijak dari urgensi perpajakan, tidak saja secara lokal – nasional tapi juga di era global, termasuk juga mempertimbangkan dampak sistemik perpajakan selama dua tahun di masa pandemi, maka beralasan jika Menkeu Sri Mulyani memberikan gambaran pentingnya 2 pilar perpajakan internasional yaitu pajak di sektor digital dan global minimum taxation. Keduanya telah disepakati dari forum G20 kemarin dan mulai diberlakukan pada tahun 2023 mendatang.

Artinya ini menjadi muara di semua negara untuk mempersiapkan tertib administrasi untuk mendukung potensi penerimaan pajak. Meski demikian realisasinya tetap harus mempertimbangkan riil kondisi di lapangan karena ini menyangkut sektor ekonomi secara global, termasuk juga dari aspek ancaman resesi terutama pasca pandemi.

Baca Juga: Industri Kreatif

Potensi pajak digital sebagai pilar pertama dalam perpajakan internasional menjadi acuan bahwa potensi pajak digital di masa depan memang sangat menjanjikan dan  pajak digital tentu lingkungannya tidak bisa lagi dipetakan secara lokal atau nasional karena sejatinya pajak digital mencakup area lintas negara. Oleh karena itu, aspek mendasar yang harus dipahami adalah kepentingan basis data perpajakan global di semua negara. Hal ini menjadi argumen bahwa isu pajak digital menjadi penting di masa depan karena memang potensinya semakin besar. Hal ini didukung juga oleh semakin pesatnya bisnis digital yang didukung oleh transaksi global.

Meski hal ini juga rentan dengan isu global, tapi potensi pajak digital dari bisnis digital pastinya memberikan keuntungan yang sangat menjanjikan bagi pemasukan negara. Realitas ini menjadi argumen pentingnya memacu penerimaan dari pajak digital. Meskipun demikian mekanisme dan proseduralnya tetap harus dicermati agar tidak terjadi isu yang meminorkan potensi bisnis digital di masa depan.

Potensi dibalik pajak digital tidak bisa terlepas dari fakta semakin bergesernya era digitalisasi yang menggantikan prinsip dan konsep bisnis tradisional – offline saat perkembangan teknologi dan internet tidak semaju seperti saat ini. Oleh karena itu, kerjasama bilateral dan multilateral terkait basis data perpajakan digital tidak dapat diabaikan karena menyangkut basis data yang rinci, detail dan lengkap.

Artinya ini menjadi acuan untuk merumuskan global minimum taxation sehingga mereduksi di balik ancaman penghindaran pajak (tax avoidance) dan juga potensi penggelapan pajak (tax evasion). Bagaimanapun juga pajak adalah salah satu potensi yang dapat dipermainkan oleh oknum-oknum yang berusaha untuk menyiasati pajak, bukannya justru mentaati semua regulasi perpajakan yang ada.

Baca Juga: Mereduksi Konflik

Dualisme antara menyiasati dan mentaati perpajakan menjadi tantangan yang berat terutama dikaitkan dengan tanggung jawab perpajakan untuk pendanaan. Fakta ini menjadi pertimbangan tentang pentingnya monitoring perpajakan sehingga semua oknum yang berusaha menyiasati perpajakan dapat direduksi sehingga akhirnya hal ini akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, baik itu wajib pajak badan maupun individu – perorangan. Artinya ketika tuntutan pajak digital di masa depan semakin penting maka komitmen bijak terhadap perpajakan juga sangat penting, termasuk dalam hal ini adalah memacu kepatuhan wajib pajak.

Terkait ini, pemerintah telah sukses menggelar Program Pengungkapan Sukarela - PPS. Data menunjukan peserta PPS 247.918 wajib pajak, dengan 82.456 surat keterangan dari kebijakan I dan 225.603 surat keterangan dari kebijakan II. Total dari harta bersih yang diungkapkan Rp 594,82 triliun. Adapun PPh yang disetorkan senilai Rp 61,01 triliun. *** 

  • Dr Edy Purwo Saputro SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat