unescoworldheritagesites.com

YPLH dan Polri Melakukan Penanaman Pohon dalam rangka Peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia - News

Penanaman pohon oleh Yayasan Peduli Lingkungan Hidup dihadiri Kanit LHK Bauntelkam Mabes Polri AKBP Muhammad Zaldi SE (istimewa )

 

:  Setiap tanggal 28 November diperingati sebagai Hari Menanam Pohon Indonesia. Peringatan ini dimaksudkan bukan sekedar selebrasi maupun seremoni yang serba berseolah-olah untuk mempertontonkan kepedulian kepada tentang pentingnya pemulihan kerusakan hutan dan lahan melalui penanaman pohon.

Kerusakan hutan yang berkontribusi terhadap meningkatnya ancaman cuaca ekstrem akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, atas perubahan iklim yang terjadi berdasarkan laporan dari kelompok kerja Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), merasa perlu menyampaikan pesan bahwa situasi global saat ini sedang dalam keadaan ‘code red for humanity'.

Baca Juga: Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Semen Indonesia Pamerkan Reklamasi Sistem Alur

Dalam siaran pers yang diterima , Rabu (9/11/2022), Sekjen Yayasan Peduli Lingkungan Hidup (YPLH) RD Mahendra Uttunggadewa mengatakan ratusan ribu orang telah meninggal karena panas dan bencana cuaca lainnya yang dipicu oleh perubahan iklim. Triliunan ton es hilang musnah selama periode itu, pembakaran bahan bakar fosil telah memuntahkan miliaran ton emisi gas rumah kaca yang memperangkap panas ke udara. Pemanasan global telah mencairkan es bumi. Sejak 1992, Bumi telah kehilangan 33 triliun metrik ton es, di Kutub Utara (Arktika) maupun Kutub Selatan (Antartika), menurut perhitungan ahli klimatologi Andrew Shepherd dari University of Leeds.

Penyusutan lapisan es raksasa dan pencairan gletser di Greenland dan Antartika yang terjadi pada musim panas saat ini intensitas pencairannya lebih tinggi dibanding musim panas sebelumnya. Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) AS, di Alaska, suhu rata-rata telah meningkat 1,4 derajat Celcius (2,5 derajat Fahrenheit). Selama beberapa tahun, rata-rata suhu global tahunan telah meningkat hampir 0,6 derajat Celcius (1,1 derajat Fahrenheit) sejak 1992.

Baca Juga: Peduli Lingkungan dan UMKM, BRI Peduli Bersihkan Tepi Kali Senjoyo untuk Masyarakat

Bumi justru lebih memanas dalam 29 tahun terakhir daripada 110 tahun sebelumnya. Sejak 1992, dunia telah memecahkan rekor suhu tertinggi global tahunan sebanyak delapan kali. Di seluruh dunia, menurut data kebencanaan dari The International Disaster Database EM-DAT, telah terjadi hampir 8.000 bencana alam akibat perubahan iklim yang menewaskan 563.735 orang.

Angka-angka itu mungkin belum termasuk semua bencana dan kematian yang tidak terdata, kata Debarai Guha-Sapir, pengawas database pada Centre for Research on the Epidemiology of Disasters, University of Louvain School of Public Health, Brussels.

Dari penelitian medis awal tahun ini yang mengamati 732 kota di seluruh dunia untuk menghitung berapa banyak kematian akibat perubahan iklim akibat panas ekstra, ditemukan bahwa rata-rata sejak tahun 1991, telah terjadi 9.702 kematian akibat pemanasan global per tahun hanya di kota-kota yang diteliti, yang bertambah hingga 281.000 kematian akibat panas akibat iklim sejak tahun 1992.

Menurut Ana Vicedo-Cabrera, seorang ahli epidemiologi di Institute of Social and Preventative Medicine, University of Bern, Swiss; data tersebut hanya sebagian kecil dari apa yang sebenarnya terjadi. Dengan menggunakan data-data dari kota-kota yang diteliti tersebut, para peneliti telah mengkalkulasi bahwa selama empat bulan terpanas tahun ini, peningkatan panas dari perubahan iklim bertanggung jawab atas 0,58% kematian dunia.

"Itu berarti sekitar 100.000 kematian akibat panas yang disebabkan oleh perubahan iklim per tahun selama 29 tahun," kata R.D. Mahendra Uttunggadewa.

WHO sendiri mengatakan bahwa angka-angka tersebut sangat masuk akal. Dan atas dasar penghitungan tersebut, diperkirakan jumlah kematian tahunan akibat perubahan iklim akan meningkat menjadi 250.000 per tahun pada 2030-an. Hal ini terjadi akibat panas yang terperangkap oleh emisi GRK. Tingkat karbon dioksida telah meningkat 17% dari 353 bagian per juta pada September 1992 menjadi 413 pada September 2021, menurut NOAA.

Dari laporan tahunan indeks emisi GRK, kata Mahendra,  NOAA juga telah memetakan enam jenis gas dan mengukurnya sesuai dengan berapa banyak panas yang diperangkap oleh gas-gas tersebut. Ternyata naik hampir 20% sejak 1992. Dari 1993 hingga 2019, dunia menempatkan lebih dari 803 miliar metrik ton karbon dioksida di udara dari pembakaran bahan bakar fosil dan pembuatan semen, menurut sekelompok ilmuwan penjejak emisi yang tergabung dalam Global Carbon Project.

Deskripsi ini, kata dia, rasanya cukup menjadi dasar untuk mengingatkan umat manusia agar sadar dan peduli akan betapa pentingnya menanam pohon. Untuk itu Yayasan Peduli Linkungan Hidup (YAPELH) mengajak segenak anak bangsa dari berbagai komponen dan lapisan masyarakat untuk menjadikan bulan November sebagai bulan menanam pohon secara serentak dan massal di berbagai wilayah Indonesia.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat