unescoworldheritagesites.com

Urgensi Rantai Pasok - News

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, SE, MSi 

Pandemi belum berakhir dan ancaman banjir di musim penghujan menghadang sehingga ini berdampak terhadap jaminan rantai pasok pangan. Oleh karenanya, situasi ini secara tidak langsung menuntut ada koordinasi sektoral dan lintas sektoral untuk mensinergikan pasokan pangan dan kualitasnya terutama mengacu pandemi Covid-19. 

Terkait ini maka problem kekeringan - banjir yang terjadi di republik ini perlu dicermati. Artinya kasus kekeringan - banjir secara tidak langsung menjadi warning dampak kekeringan - banjir yang seolah telah menjadi siklus. Ironisnya meminimalisasi dampaknya belum maksimal yaitu tidak saja bagi penduduk, tapi juga mata rantai dari dampaknya. Padahal, preventif diperlukan karena fenomena ini rutin. Di satu sisi, dampaknya berpengaruh negatif bagi pertanian pangan sehingga mata rantai pasokan terhambat dan di sisi lain hal ini juga berpengaruh terhadap kondisi perekonomian nasional, terutama sektor pertanian pangan dan petani. Jadi, dampak simultan dari mata rantainya harus dikaji secara konkret.

Mencermati siklus tahunan kekeringan – banjir maka beralasan jika arus balik pasca Idul Fitri cenderung meningkat karena warga di perdesaan pesimis mengolah lahannya agar bisa ditanami. Realitas ini menegaskan tuntutan terhadap survival mengharuskan migrasi ke perkotaan mencari pekerjaan sementara dan atau selamanya ketika musim kemarau – hujan terjadi berkepanjangan yang mempengaruhi siklus kekeringan – banjir tiap tahun. Bahkan warga perdesaan juga yakin musim tanam yang lama secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap gagal panen ketika musim kemarau berkepanjangan. Oleh karena itu tidak ada pilihan kecuali harus bermigrasi ke perkotaan untuk survival.

Belajar bijak mata rantai kekeringan – banjir maka beralasan jika Malaysia dan Australia merupakan dua negara yang paling rentan terkena dampak kebakaran hutan. Oleh karena itu, wajar jika keduanya memprotes kasus kebakaran tersebut. Ironisnya, ini juga seolah telah menjadi siklus tahunan dan sekali lagi nampaknya tidak ada upaya preventif untuk menekan terjadinya kebakaran hutan. Kalkulasi kerugian yang terjadi tentu tidak hanya dari sisi ekonomi bisnis, tetapi juga sosial politik. Dengan kata lain hal ini memberikan dampak simultan yang tidak kecil.

Siklus kekeringan dan banjir memang menjadi problem pelik di republik ini dan situasi ini diperparah oleh pandemi covid-19. Oleh karena itu, pasokan pangan tersendat yang kemudian berdampak bagi kecukupan pangan. Padahal ketersediaan pangan yang mudah dan murah menjadi sesuatu yang penting. Jadi pandemi covid-19 berdampak sistemik di distribusi pangan sehingga keterjangkauan kepada penduduk semakin sulit. Situasi juga diperparah oleh lemahnya daya beli akibat banyak terjadi PHK. Mata rantai dari situasi ini jelas berpengaruh terhadap ancaman kemiskinan. Di sisi lain belit daya beli sangatlah rentan memicu inflasi dari sektor pangan. Oleh karena itu beralasan jika kemudian kasus memacu pemerintah menggerakan ekonomi pertanian di perdesaan termasuk tentunya di sektor ekonomi kreatif dengan bermodal dana desa dan realisasi otda.

Keberhasilan memacu potensi ekonomi kreatif di daerah yang didukung semangat otda dan dana desa pada akhirnya bisa mereduksi dampak negatif kekeringan - banjir. Hal ini terjadi karena geliat ekonomi di perdesaan masih dapat berputar tanpa harus tergantung dengan sektor pertanian pangan yang tergerus oleh kebutuhan air akibat kemarau yang berkepanjangan dan banjir saat musim hujan. Artinya, imbas dari keberhasilan ini yaitu mereduksi fenomena migrasi. Dari ketiga argumen diatas maka pada intinya bukan alam yang enggan bersahabat dengan kita, tetapi justru kita yang lalai dan egois merusak alam sehingga ekosistem tidak seimbang mata rantai dan kekeringan – banjir menjadi siklus. ***

* Dr. Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat