: Jalinan persaudaraan antara keluarga dekat lingkungan serta bermasyarakat yang bisa dijadikan panutan adalah kerukunan serta toleransi suku bangsa di Fakfak dan Kaimana Provinsi Papua Barat.
Interaksi masyarakat Fakfak dan Kaimana berbeda dalam jalinan persaudaran masyarakat lainnya di Papua Barat.
Berbeda itu dalam hal kerukunan. Kerukunan di Fakfak dan Kaimana ini tidak terlepas dari falsafah 'satu tungku tiga batu' yang ditanamkan pada warganya.
Baca Juga: Satu dari 6 Anggota TNI Tersangka Pelaku Mutilasi di Nduga Mimika Meninggal
Filosofi itu tidak terlepas dari cara hidup dan identitas suku Mbaham Matta (WUH). Masyarakat dengan adat tertua di Fakfak ini memasak di atas tungku yang terbuat dari tiga batu besar. Ketiga batu ini memiliki ukuran sama, kokoh dan kuat serta tahan panas.
Kemudian disusun membentuk lingkaran, sehingga bisa menopang kuali atau belanga yang akan digunakan untuk memasak.
Bagi suku Mbaham Matta, tungku merupakan simbol dari kehidupan. Sedangkan tiga batu adalah simbol dari 'kau, saya dan dia' .
Folosofi itu yang menghubungkan perbedaan baik agama, suku, dan status sosial dalam satu wadah persaudaraan.
Dasar itulah yang kemudian dijadikan sebagai simbol kerukunan di Kabupaten Fakfak dan Kaimana Provinsi Papua Barat.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Papua Barat Luksen Jems Mayor di Sorong pekan lalu.
Baca Juga: Ratusan Personel Polri Dimutasi, 146 Pimpinan Setingkat Kapolres dan Kapoltabes Pindah Posisi
Kau, Saya dan Dia Bersaudara
Filosofi satu tungku tiga batu merupakan pengejawantahan dari Filsafat hidup Etnis Mbaham Matta (WUH) yang disebut "KO, ON, KNO Mi Mbi Du Qpona" yang artinya adalah Kau, Saya dan Dia Bersaudara.
![Ini Tugu Satu Tungku Tiga Batu Kebanggaan Masyarakat Fafak Papua Barat](https://assets.promediateknologi.id/crop/0x0:0x0/750x0/webp/photo/2022/12/26/3429474572.jpg)
Filosofi dari satu tungku tiga batu juga kemudian menjadi pegangan hidup masyarakat Fakfak dan Kaimana dahulu.
Budaya itu diwariskan secara turun-temurun di dalam keluarga. Tetapi pada era tahun 1990-an dirumuskan secara resmi oleh pemerintah daerah sebagai filosofi Kabupaten Fakfak.
Sejak lama Kabupaten Fakfak dikenal sebagai penghasil rempah-rempah.
Salah satunya adalah buah pala. Hal inilah yang membuat banyak pedagang singgah di Kabupaten Fakfak untuk berniaga.
Termasuk para pedagang dari Tidore dan Ternate yang memeluk Agama Islam.
Penduduk di Kabupaten Fakfak pun kini beragam, terdiri dari mereka yang beragama Islam, Katolik dan Kristen Protestan.
Baca Juga: Kilang Kasim Gelar Open House dan Silahturahmi Natal 2022
Namun di dalam pelaksanaan toleransi antar umat beragama sangat erat dan harmonis, demikian tutur Luksen.
Tak Ada Waktu Beda-Bedakan Agama
Ia menyebutkan, toleransi bisa terlihat dalam acara keagamaan, seperti saat perayaan Idul Fitri dan Natal.
Semua umat dilibatkan dalam acara tersebut. Bahkan bila ada acara pembangunan masjid atau gereja, semua umat juga ikut terlibat, berpartisipasi dan bergotong-royong.
"Kini Fakfak menjadi salah satu kabupaten tertua di Provinsi Papua Barat maupun di Tanah Papua," tuturnya.
Filosofi satu tungku tiga batu secara spontan mengajarkan warga bahwa perbedaan justru menjadi sarana untuk menyatukan.
Baca Juga: Lirik Lagu De Yang Gatal Sa - Liani Panuma
Warga Fakfak tidak pernah, bahkan tidak ada waktu untuk, membeda-bedakan agama satu dengan agama yang lain.
![Keindahan Kota Fakfak di Malam Hari](https://assets.promediateknologi.id/crop/0x0:0x0/750x0/webp/photo/2022/12/26/2395624286.jpg)
Karena diyakini filosofi satu tungku tiga batu merupakan napas dari kerukunan dan keakraban dalam peradaban masyarakat yang ada di Kabupaten Fakfak dan Kaimana. ***
Baca Juga: Pedagang Mengais Rezeki Jual Pernak Pernik Natal di Ambon