unescoworldheritagesites.com

Industri Mebel Dan Kerajinan, Kendati Masih Eksis Tapi Tetap Terkendala Regulasi - News

Pembukaan Rakernas sekaligus Gathering pelaku industri mebel dan kerajinan.

 
: Industri mebel dan kerajinan tetap eksis dan menghasilkan devisa bagi negara di saat industri lain terkena imbas krisis. Karena, industri ini didukung oleh local content yang cukup besar.
 
Hal itu disampaikan  Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur, dalam arahannya pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) sekaligus Gathering pelaku industri mebel dan kerajinan, di Jakarta, pertengahan Maret 2022.
 
Rakernas HIMKI bertujuan untuk pengembangan dan penguatan industri mebel dan kerajinan nasional. Gathering dan Rakernas dibuka Sekretaris Jenderal HIMKI Heru Prasetyo. 
 
Abdul Sobur mengatakan, Rakernas ini sangat penting mengingat industri ini merupakan bantalan ekonomi yang kuat. Pada saat kondisi ekonomi seperti ini dan menjadi jalan keluar negara, dalam penyerapan tenaga kerja. 
 
 
"Pada masa pandemik, industri ini justru mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Yakni  mencapai 30 persen untuk mebel, dan 20 persen untuk kerajinan, dibandingkan tahun lalu," sebutnya.
 
HIMKI, lanjutnya, memiliki target ekspor 5 miliar dolar AS, atau kurang lebih dua kali lipat dari realisasi ekspor pada tahun 2020. Dalam rangka memenuhi target ekspor itu, maka dipastikan ke depan akan dibutuhkan kenaikan kapasitas produksi tambahan, dan terkorelasi terhadap penambahan tenaga, guna menopang target produksi untuk ekspor.
 
Walau begitu, ujarnya,  masih adanya kebijakan kontraproduktif, yang membuat industri mebel dan kerajinan Indonesia kurang berkembang. Di antaranya kebijakan perluasan penampang kayu yang dapat diekspor, dan masih adanya sistem verifikasi dan legalitas kayu (SVLK) yang diberlakukan pemerintah. 
 
"Hal ini membuat harga bahan baku bagi industri kayu tak kompetitif dibanding pesaing kita. Seperti Malaysia dan Vietnam, karena untuk mengurus SVLK dan beberapa ijin pendukungnya membutuhkan biaya yang sangat besar," jelasnya.
 
 
Sampai saat ini, lanjutnya, SVLK masih tetap berlaku untuk industri mebel dan kerajinan. Untuk itu, kalangan pengusaha yang bergerak di sektor industri mebel dan kerajinan, yang tergabung di HIMKI, terus minta. Agar pemerintah segera menghapus SVLK, untuk industri mebel dan kerajinan. 
 
Di sisi lain, imbuhnya, para buyer malah membutuhkan bahan baku kayu bersertifikat FSC yang sulit diperoleh. Sehingga, akhirnya dimungkinkan untuk melakukan pencampuran dengan kayu dari sumber lain, dengan syarat dan ketentuan tertentu. 
 
"FSC menetapkan, kayu bersertifikat FSC, hanya boleh dicampur dari kayu yang bebas dari sumber yang tidak dapat diterima (unacceptable)," terang  Sobur.
 
Rakernas juga membahas terkait peningkatan pangsa ekspor di negara-negara tradisional dan nontradisional. Antara lain, perlu adanya penambahan penyelenggaran pameran internasional di dalam negeri. Untuk menarik kunjungan buyer luar negeri ke Tanah Air (saat ini hanya IFEX). 
 
 
"Agar citra produk mebel dan kerajinan nasional tetap eksis dan terus berkibar. Maka, perlu kegiatan yang offensif dan masif, melalui kegiatan mengikuti pameran bertaraf internasional," tutur Sobur. 
 
Selain itu, guna memahami perkembangan trend pasar “market intelegent". Maka, diperlukan kegiatan kunjungan ke pameran-pameran internasional di luar negeri. 
 
Terbatasnya tenaga kerja siap pakai, yang memiliki keahlian spesifik (bersertifikat). Terutama, keterampilan yang berbasis pada skill pengolahan kayu, rotan, bahan-bahan baku lainnya, serta keahlian dalam hal IT dan manajerial, masih menjadi kendala pertumbuhan industri ini. 
 
"Untuk itu, perlu adanya program pendidikan dan pelatihan non-formal. Sampai saat ini, masih adanya kesulitan yang dialami industri mebel dan kerajinan nasional, untuk melakukan rekrutmen tenaga kerja dengan spesifikasi keahlian khusus dan tersertifikasi LSP,"  ungkap Abdul Sobur.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat