unescoworldheritagesites.com

Ombudsman Dinilai Melakukan Tindakan Bukan Kewenangannya - News

KPK

JAKARTA: Permasalahan terkait Tes Wawasan Kebangsaan terhadap karyawan KPK masih berkepanjangan. Ada aja pakar hukum bahkan lembaga yang berpro-kontra. Kini giliran Lembaga Studi Anti Korupsi (L-SAK) menilai Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Ombudsman atas proses TWK yang menyatakan maladminitrasi dinyatakan bukan kewenangannya. Karenanya, bukan menjadi suatu kewajiban yang harus dilaksanakan KPK.

Peneliti L-SAK, Ahmad Aron menyatakan hal itu sehubungan LHP Ombudsman yang hanya sebatas produk administrasi berupa rekomendasi, dan bukan perintah undang-undang atau legal mandatory. “Sebaiknnya pimpinan KPK tetap patuh dan teguh melaksanakan putusan berdasarkan perintah dan mandat perundang-undangan dalam hal ini proses alih status pagawai KPK menjadi ASN sebagaimana amanat UU 19/2019 tentang KPK. Ombudsman boleh saja membuat kesimpulan yang menyatakan KPK melakukan maladminitrasi. Tapi hal itu bukan kewenangannya," kata Aron di Jakarta, Jumat (30/7/2021).

Aron melihat banyak kejanggalan dalam rekomendasi Ombudsman yang meminta 75 pegawai KPK yang tidak lolos dalam TWK agar dialihkan menjadi ASN sebelum tanggal 30 Oktober 2021. “Ini keliru dan tidak mendasar. Selain rekomendasi Ombudsman bukanlah perintah Undang-undang atau legal mandatory, lembaga tersebut sama sekali tak memiliki hak lantaran kewenangan untuk menguji sah atau tidaknya proses TWK tersebut adalah  kewenangan PTUN. Jadi LHP Ombudsman dan tindakan 75 orang TMS adalah obstruction of justice  atau merintangi penegakan hukum. PTUN satu-satunya pemutus terakhir dan mengikat di kasus dugaan perbuatan maladministrasi pimpinan KPK dalam proses TWK,” tuturnya.

Untuk itu, L-SAK menyarankan agar Novel Baswedan serta pegawai KPK yang tak lolos TWK untuk mengajukan gugatan  ke PTUN. Sebab mereka petugas hukum, mengerti dan seharusnya taat hukum. Bukan malah melakukan laporan ke Ombudsman yang tidak memiliki kewenangan.

Ke-75 karyawan KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam TWK masih saja memberikan bukti tambahan dugaan pelanggaran etik pimpinan kepada Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Mereka menyebutkan hal ini berdasar ke Peraturan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 03 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemeriksaan Dan Persidangan Pelanggaran Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 5 ayat (1) dan (2) peraturan tersebut, tidak mengatur status aduan atas Putusan Pemeriksaan Pendahuluan yang menyatakan tidak cukup bukti. Tindak lanjut atas putusan tersebut hanya memberitahukan kepada pelapor dengan tembusan kepada atasan langsung terlapor. Dengan demikian pemeriksaaan pendahuluan yang menyatakan dugaan pelanggaran kode etik dinyatakan tidak cukup bukti, tidak mengakibatkan laporan aduan tersebut akan ditutup atau tidak bisa dibuka lagi untuk diperiksa. “Kami menganggap bahwa laporan aduan tertanggal 18 Mei 2021 dengan tambahan data dan informasi tertanggal 16 Juni 2021, masih bisa dibuka pemeriksaannya dengan pemberian bukti-bukti baru, untuk mencukupkan bukti dugaan pelanggaran dimaksud dan dilanjutkan ke sidang etik,” kata Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Antikorupsi nonaktif, Hotman Tambunan.***

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat