unescoworldheritagesites.com

Dinilai Tepat KPK Tidak Indahkan LHAP Ombudsman - News

KPK

JAKARTA: Keberatan KPK terkait Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LHAP) Ombudsman mengenai pelaksanaan dan penetapan hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawainya untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) cukup mendasar atau paling tidak dapat dibenarkan.

Selain itu, desakan agar KPK menjalankan rekomendasi Ombudsman dinilai pula melenceng atau tidak tepat.  "Tegaknya negara hukum hanya diakui secara universal oleh sistem kekuasaan kehakiman yang bebas dari campurtangan siapapun termasuk kekuasaan eksekutif dan legislative. Kedua lembaga tersebut, meskipun sama kedudukannya secara tugas tetap wewenang sangat berbeda. Karenannya, kesimpulan Ombudsman soal TWK pegawai KPK bisa dianggap cacat hukum karena dianggap melampaui kewenangan,” demikian ditegaskan Prof Romli Atmasasmita, Minggu (8/8/2021).

"Implementasi suatu undang-undang termasuk UU Ombudsman (ORI) dalam bentuk melampaui batas kewenangannya adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang berdampak kesimpulan dan rekomendasi Ombudsman cacat hukum sehingga batal dan dapat dibatalkan," Romli menambahkan.

Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, mengatakan 13 poin keberatan yang diajukan KPK menjawab LHAP Ombudsman. Dalam salah satu poin keberatan disebutkan bahwa Ombudsman melanggar kewajiban hukum untuk menolak laporan atau menghentikan pemeriksaan atas laporan yang diketahui sedang dalam pemeriksaan pengadilan.

Keberatan itu, kata Suparji, merupakan alasan yang dibenarkan. Termasuk poin keberatan lainnya yang menyebutkan bahwa pokok perkara pembuatan peraturan alih status pegawai KPK, pelaksanaan TWK dan penetapan hasil TWK yang diperiksa oleh Ombudsman bukan perkara pelayanan publik. "Alasannya untuk menghindari tumpang tindih putusan," ujarnya.

Plt Jubir KPK, Ali Fikri, juga menambahkan surat keberatan KPK kepada Ombudsman, bukan tanpa dasar. Pasal 25 ayat 6b menyebutkan jika terdapat keberatan terhadap LAHP maka keberatan dapat disampaikan kepada Ketua Ombudsman RI," kata Ali Fikri.

Ali menuturkan, surat keberatan KPK tersebut telah disampaikan dan diterima oleh Ombudsman RI. Lengkap dengan analisis dan pertimbangan argumentasi pada tiap pokok keberatannya.  "Pokok keberatan tersebut bukan pembangkangan, namun justru sebuah ketaatan terhadap hukum dan administrasi," tuturnya.

KPK, kata Ali, telah taat melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di mana pengalihan pegawai KPK menjadi ASN tidak merugikan pegawai terkait batasan umur. Hal ini juga sudah sesuai pokok pertimbangan MK dalam putusan pengujian UU 19/2019 tentang KPK terhadap UUD 1945. "KPK juga telah patuh menjalankan amanat Presiden dengan berkoordinasi kepada kementerian dan lembaga sebagai organ pembantu Presiden dalam proses pengalihan pegawai KPK menjadi ASN," kata Ali kemudian mengajak masyarakat untuk mengedepankan kebenaran informasi dan memahaminya secara menyeluruh agar tidak berkembang opini yang justru kontraproduktif.

Sementara itu, Wadah Pegawai (WP) KPK menilai klaim pimpinan KPK bahwa mereka tengah memperjuangkan nasib 75 pegawai yang tidak lolos proses alih status pegawai KPK cuma omong kosong. "Sikap KPK terkait rekomendasi atau LAHP Ombudsman menunjukkan bahwa dalih pimpinan KPK telah memperjuangkan hak dan nasib 75 orang pegawai KPK adalah suatu retorika belaka," kata Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo.

"Seharusnya pimpinan KPK menjadikan rekomendasi Ombudsman sebagai dasar memperjelas status 75 pegawainya sesuai dengan Revisi UU KPK, Putusan MK, dan arahan Presiden sehingga 75 pegawai tersebut bisa segera kembali bekerja melaksanakan tupoksinya dalam memberantas korupsi di Indonesia," kata Yudi.

Penolakan KPK terhadap LAHP Ombudsman RI merupakan sikap anti-koreksi. Padahal, KPK semestinya taat hukum tanpa pilih-pilih aturan yang hendak ditaati. "Tindakan korektif dari Ombudsman sepatutnya dijadikan bahan KPK untuk perbaikan, bukan malah menyerang pemberi rekomendasi," jelas Yudi.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat