unescoworldheritagesites.com

Perkawinan Anak, KemenPPPA Komitmen Lakukan Intervensi dari Hulu Menyikapi Kasus Itu - News

Media Talk KemenPPPA

 
 
: Terkait perkawinan anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) berkomitmen serius dalam menyikapi maraknya kasus ini. 
 
KemenPPPA dalam menyikapi perkawinan anak yang terjadi di Indonesia, melakukan intervensi di hulu melalui penguatan sumberdaya manusia (SDM) berupa edukasi. 
 
Plt Deputi Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Rini Handayani menekankan, upaya pencegahan perkawinan anak harus dimulai dari edukasi kesehatan reproduksi baik itu kepada anak dan orangtua.
 
 
“Perkawinan anak merupakan tantangan dalam pembangunan SDM karena memiliki dampak yang multiaspek dan lintas generasi. Selain itu, perkawinan anak juga  bentuk pelanggaran hak anak,  dapat menghambat dalam mendapatkan hak-haknya secara optimal,” ujar Rini pada kegiatan Media Talk KemenPPPA, di Jakarta, Jumat (12/5/2023). 
 
Selama 2020-2022, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia mencatat perkara dispensasi kawin mengalami penurunan tiap tahunnya. 
 
Pada 2022, tercatat sebanyak 52.095 perkara dispensasi kawin yang masuk dan sebanyak 50.748 diputuskan. Angka itu masih tergolong besar dan menunjukkan, perkawinan anak masih banyak terjadi dilihat dari jumlah permohonan perkara dispensasi kawin yang masuk ke pengadilan.
 
 
“Meskipun data prevalensi perkawinan anak di Indonesia menunjukkan penurunan setiap tahunnya. Masih banyak perkawinan anak dan remaja yang terjadi dan setiap tahunnya tidak dapat dicatatkan, karena tidak membawa perkara dispensasi kawin ke pengadilan," terang Rini. 
 
Dikatakannya, perlu upaya sistemik dan terpadu dalam menekan angka perkawinan anak. Untuk mencapai target 6,94 persen pada tahun 2030.
 
Rini mengungkapkan, ada banyak faktor yang ditengarai berkontribusi dalam perkawinan anak. Di antaranya faktor kemiskinan, geografis, pendidikan, ketidaksetaraan gender, masalah sosial, budaya, dan agama, serta minimnya akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif. 
 
 
Rini juga menyatakan, edukasi kesehatan reproduksi menjadi kunci utama. Dalam memutus mata rantai perkawinan anak di Indonesia. 
 
Baik anak maupun orangtua harus mengerti perkawinan anak memiliki dampak yang begitu besar. Bagi anak dimulai dari pendidikan, kesehatan, kemiskinan berlanjut sampai kekerasan, dalam rumah tangga dan perceraian.
 
“Mencuatnya tren perkawinan anak di Indonesia tidak hanya karena kurangnya pemahaman anak dan orangtua. Akan bahaya serta ancaman dari perkawinan anak, tetapi juga dampak gerusan pergaulan bebas di kalangan anak dan remaja yang berisiko pada Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)," ungkap Rini. 
 
 
Karena itu, kata dia, edukasi terkait perkawinan anak yang dimulai dari kesehatan reproduksi menjadi penting dan perlu ditanamkan sejak dini pada anak-anak. Anak-anak perlu mengetahui bagian-bagian penting dari tubuh dan sistem reproduksi yang berdampak pada masa depan anak. 
 
Rini menyampaikan, perkawinan anak merupakan isu bersama yang pencegahannya pun harus diselesaikan secara multi sektoral, holistik, komprehensif, terpadu, dan melibatkan banyak orang. 
 
KemenPPPA sebagai kementerian yang menangani urusan perempuan dan anak terus berupaya mencegah perkawinan anak. Sebagaimana tercantum di dalam 5 (lima) prioritas Arahan Presiden. 
 
 
Selain disusunnya Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, KemenPPPA fokus melakukan sosialisasi dan edukasi dengan stakeholder terkait dan di akar rumput melalui model Desa/ Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak yang telah tercanangkan di 138 Desa/ Kelurahan di Indonesia.
 
“KemenPPPA bersama pemerintah daerah juga telah mendorong terbentuknya Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) yang merupakan unit layanan preventif dan promotif. Sebagai tempat pembelajaran untuk meningkatkan kualitas kehidupan menuju keluarga sejahtera," terang Rini. 
 
Saat ini, sudah ada  257 PUSPAGA di 231 kabupaten/kota di Indonesia. Selain itu, keberadaan Forum Anak sebagai pelopor dan pelapor (2P) yang sudah ada di 34 provinsi, 458 kabupaten/kota juga sangat membantu. Dalam melakukan sosialisasi dan edukasi terkait perkawinan anak. 
 
 
Di bagian lain, Kepala Bagian Staf Medik Fungsional Ginekologi Onkologi Rumah Sakit Kanker Dharmais dr Widyorini Lestari Hardjolukito Hanafy SpOG Subsp Onk menjelaskan, perkawinan dan kehamilan anak memiliki risiko komplikasi medis terhadap ibu maupun anak yang dilahirkan. 
 
“Anatomi tubuh anak perempuan belum siap menjalani proses mengandung dan melahirkan. Sehingga, berisiko mengalami komplikasi medis baik pada ibu maupun pada anak," jelasnya. 
 
Dikemukakannya, United Nations Population Fund (UNFPA) mencatat Obstetric Fistula sebagai kasus komplikasi medis persalinan usia anak, yang sering terjadi. Obstetric Fistula merupakan kerusakan pada organ intim perempuan. Yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. 
 
 
"Perempuan yang berusia kurang dari 20 tahun rentan mengalami Obstetric Fistula dan dapat terjadi akibat hubungan seksual di usia anak,” jelas Widyorini.***
 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat