unescoworldheritagesites.com

Wasekjen FSGI: PPDB DKI Jakarta Harus Ditinjau Ulang - News

Wasekjen FSGI Satriwan Salim

JAKARTA: Kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi, sudah diberlakukan sejak 2017. Pada prinsipnya, FSGI sangat mendukung kebijakan zonasi dalam PPDB sejak awal yang dikeluarkan oleh Mendikbud Muhadjir Effendi kala itu.

Menurut Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim, kebijakan zonasi akan membuka pintu keadilan dalam akses pendidikan bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu.

Bahkan kebijakan zonasi ini sangat ramah terhadap psikologi dan ekonomi siswa. Para siswa tak lagi berangkat ke sekolah yang jaraknya jauh dari rumahnya. Yang juga bisa mengganggu keamanan diri anak dalam perjalanan. Begitu juga sekolah-sekolah yang katanya "unggulan atau favorit", lama-lama akan tersebar. "Input calon siswa di satu sekolah pun akan lebih beragam, baik dari segi ekonomi, kemampuan akademis, sosial, dan lainnya.

Guru akan tertantang mendidik siswa, yang tak lagi homogen secara nilai akademik maupun strata ekonomi. Sebab selama ini anak-anak cerdas atau yang tinggi nilai rapornya, akan terkonsentrasi secara homogen di sekolah-sekolah tertentu saja," kata Satriwan.

Ini kemudian yang dilabeli sebagai sekolah unggulan oleh masyarakat. Beberapa hari lalu, para orang tua yang protes bahkan melakukan demonstrasi terkait pelaksanaan kebijakan zonasi di DKI Jakarta, bisa dipahami dalam aspek legal formal maupun sosial sebagai eksesnya.

Secara yuridis formal, kebijakan PPDB di DKI untuk alokasi afirmasi dan zonasi yang memprioritaskan usia calon peserta didik alih jenjang, berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta No 501 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis PPDB 2020 berpotensi menyalahi Permendikbud No 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru.

Sebab, di dalam Pasal 25 ayat 1 Permendikbud No 44/2019 mengatakan bahwa "Seleksi calon peserta didik baru SMP (kelas 7) dan SMA (kelas 10) dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam zonasi yg sama."

"Nah, di sini sangat jelas sekali frasenya tertulis yaitu "dilakukan dengan memprioritaskan jarak", jelas sekali prasyaratnya bukanlah usia, melainkan jarak," katanya. Adapaun Ayat 2 menjelaskan bahwa:

"Jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah sebagaimana maksud ayat 1 sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota/daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua." Jadi sebenarnya sudah sangat clear di dalam pasal ini, bahwa patokan PPDB zonasi itu adalah jarak rumah siswa dengan sekolah, bukan seleksi berdasarkan usia.

Adapun seleksi prioritas usia tertua bisa dilakukan jika jarak rumah calon siswa dengan sekolah adalah sama. Kenyataannya di sekolah-sekolah negeri di DKI berkata lain, misal di SMA Negeri X dan SMP Negeri Y (yang FSGI coba wawancarai, tak mau disebutkan nama sekolahnya oleh narasumber).

Penerimaan siswa jalur afirmasi kuotanya sebesar 25 % dari daya tampung di sekolah tersebut. Nah, ketika calon siswa mendaftar ke sekolah, secara otomatis _by system_ maka yang bisa ikut pendaftaran afirmasi adalah para siswa yang usianya di atas/lebih tua.

Misalnya usia 19; 18; 17. Diambil dari 1-25 dg usia tertinggi tersebut. Otomatis usia di bawahnya tak bisa mendaftar atau langsung tertolak oleh sistem, sebab kuotanya sudah terpenuhi.

"Lebih mengkhawatirkan lagi, prasyarat utama usia ini juga diberlakukan bagi jalur zonasi (jarak) yang di DKI alokasinya sebesar 40%. Sama dengan contoh di atas tadi. Artinya calon siswa pendaftar yang usianya di bawah, jika melampaui kuota di sekolah, maka yang akan di ambil adalah yang usia tertua.

Pada konteks inilah kebijakan dan pelaksanaan PPDB DKI berpotensi diskriminatif dan bertentangan dengan Permendikbud No. 44/2019," ucapnya Terkait alokasi 40% untuk jarak/zonasi ini juga jelas-jelas kontradiktif dengan Permendikbud No. 44/2019.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat