: Pakar Lingkungan Hidup Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof Dr Ir Prabang Setyono, Ssi, Msi, CEIA, IPM, memberikan kritikan tajam para pemangku kebijakan yang sering tumpang tindih dalam memberikan keterangan.
Salah satunya saat peristiwa banjir yang melanda Kota Solo dan sekitarnya, Kamis-Junat (16-17/2/2023) lalu. Akibatnya, muncul kesan saling mementingkan ego sektoral.
"Ego sektoral masih sangat kental. Seharusnya antara pemangku kebijakan bisa saling koordinasi," jelas Prabang Setyono kepada wartawan, beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Sukses di Commuterline Jabodetabek, Kini GoTransit Hadir Melayani Masyarakat Solo-Yogyakarta
Terkait bencana vanjir yang berdampak dari lebih dari 21.000 warga Solo itu, Prabang menyebut penyebabnya sangat kompleks.
"Memang mengelola Kota Solo lebih sulit karena Solo adalah kota tua yang sistem pengelolaannya sudah terbentuk sejak lama," jelasnya lagi.
Untuk mengelola kota tua dengan berbagai permasalahan jauh lebih sulit dibandingkan membuat kota baru yang berdiri di atas tanah kosong.
Baca Juga: Perkembangan Sektor Jasa Keuangan di Solo Raya Tumbuh Positif
Dirinya juga menyoroti banyaknya bangunan liar yang berdiri di bantaran sungai. Bahkan bangunan tersebut memiliki sertifikat dan sarana listrik serta air.
"Jika pemangku kebijakan bisa saling berkoordinasi tentu hal itu tidak akan terjadi," ujarnya.
Menurut Prabang, soal pemeliharaan sungai dan bantaran yang tidak diperbolehkan ada bangunan, itu wewenang Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWSBS).
Baca Juga: Lirik Lagu Yang Penting Happy 'Kala Cinta sudah Membara, Rindu Jadi Menggebu-gebu' by Jamal Mirdad
"Maka jika ada salah satu sistem rusak, akan berpengaruh dengan sistem lainnya. Jika bangunan liar dibiarkan dan bahkan dilengkapi sertifikat tentu akan semakin banyak bangunan liar seperti itu," paparnya.