unescoworldheritagesites.com

Komnas HAM Minta Kejaksaan Agung Transparan Tangani Paniai - News

Komnas HAM

JAKARTA: Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) meminta Kejaksaan Agung transparan dalam mengusut kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua. Tujuannya agar tim penyidik yang dibentuk Jaksa Agung ST Burhanuddin mendapat kepercayaan dari masyarakat.

"Ke-22 jaksa penyidik harus bekerja secara transparan agar bisa mendapat kepercayaan dan dukungan dari masyarakat," ujar Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin, Sabtu (4/12/2021).

Amiruddin menyebutkan, Jaksa Agung ST Burhanuddin telah menandatangani Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 267 Tahun 2021 mengenai Pembentukan Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua, pada tahun 2014. "Jumat tanggal 3 Desember 2021, Jaksa Agung mengumumkan bahwa telah membentuk Tim Penyidik dan mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan untuk Peristiwa Paniai yang diduga di dalam peristiwa Paniai itu terjadi pelanggaran HAM yang berat," tuturnya.

Keputusan dan surat perintah Jaksa Agung tersebut memperhatikan surat Ketua Komnas HAM Nomor 153/PM.03/0.1.0/IX/2021 tanggal 27 September 2021, perihal tanggapan atas pengembalian berkas perkara terhadap hasil penyelidikan pelanggaran HAM Berat Peristiwa Paniai Tahun 2014 di Papua, untuk dilengkapi. Amiruddin yang juga Ketua Tim Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM berat mengapresiasi langkah Jaksa Agung tersebut. Dia meminta masyarakat memberikan waktu kepada tim penyidik untuk bekerja transparan dan profesional.

Sebagaimana diketahui Jaksa Agung ST Burhanuddin meneken Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 267 Tahun 2021 tanggal 3 Desember 2021 untuk pembentukan Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM Berat di Paniai, Provinsi Papua Tahun 2014. "Jaksa Agung Burhanuddin selaku penyidik pelanggaran HAM berat telah menandatangani surat keputusan pembentuk tim tersebut," kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Jumat (4/12/2021).

Alasan dikeluarkannya keputusan dan surat perintah Jaksa Agung tersebut memperhatikan surat Ketua Komnas HAM Nomor 153/PM.03/0.1.0/IX/2021 tanggal 27 September 2021 perihal tanggapan atas pengembalian berkas perkara terhadap hasil penyelidikan pelanggaran HAM Berat Peristiwa Paniai tahun 2014 di Papua untuk dilengkapi. "Ternyata belum terpenuhi adanya alat bukti yang cukup, oleh karena itu perlu dilakukan penyidikan (umum) dalam rangka mencari dan mengumpulkan alat bukti," kata Leonard. Alat bukti itu diperlukan untuk membuat terang tentang dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi, guna menemukan pelakunya.

Jampidsus Kejaksaan Agung Ali Mukartono, sebelumnya mengungkapkan bahwa pihaknya akan menginventarisir kasus-kasus pelanggaran HAM berat, sebagai tindak lanjut dari perintah Jaksa Agung. Menurutnya, Jaksa Agung meminta pihaknya mengambil langkah strategis percepatan penuntasan belasan perkara HAM berat.

Kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut antara lain Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985, Talangsari Lampung 1989, dan tragedi Rumah Geudong Aceh 1990-1999. Berikutnya kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II tahun 1998, kerusuhan Mei 1998, dan peristiwa Simpang Kertas Kraft Aceh 1999.

Kasus Paniai terbilang baru, karena terjadi setelah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dibentuk, tepatnya pada 8 Desember 2014. Kala itu, warga sipil tengah melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai.

Dalam peristiwa itu, empat pelajar tewas di tempat usai ditembak oleh pasukan gabungan, sementara satu orang lain tewas usai dirawat di rumah sakit beberapa bulan kemudian. Tujuh belas lainnya luka-luka dalam peristiwa tersebut. Lima korban tewas bernama Otianus Gobai (18), Simon Degei (18), Yulian Yeimo (17), Abia Gobay (17) dan Alfius Youw (17).***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat