unescoworldheritagesites.com

Sidang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Mayoritas Kreditur Tolak Proposal Perdamaian PT AIU - News

Persidangan perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Asa Inti Utama (AIU) di Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (Sadono)

: Persidangan perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Asa Inti Utama (AIU) pada Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, digelar  Jumat (20/5/2022), berupa rapat kreditur dengan agenda Rapat Pembahasan Rencana Damai dan Voting Perdamaian.

yang memantau jalannya persidangan melihat bahwa rapat  diikuti 18 kreditur  terdiri dari 17 kreditur   perorangan dan 1 kreditur badan  hukum perseroan, dipimpin oleh hakim pengawas Mochammad Djoenadi SH MH. Total nilai tagihan sebesar Rp 69 M.  

Dalam proses voting yang dilakukan secara terbuka, mayoritas kreditur sebanyak 17 kreditur  perorangan  menyatakan menolak proposal perdamaian yang diajukan oleh pihak PT AIU. Pasalnya, dalam proposal itu ditawarkan pengembalian dengan tenor 5-10 tahun dengan grass period  1 tahun, sehingga mayoritas kreditur  menilai proposal itu sangat tidak logis serta tidak manusiawi.

Baca Juga: Edy Mulyadi Segera Didudukan Di Kursi Pesakitan PN Jakarta Pusat

Proposal itu juga tidak memberikan jaminan pembayaran  karena tidak ada penjelasan dari  sumber uang itu akan diperoleh.
Maka ketika dilakukan voting para kreditur dengan serta merta menyatakan menolak.

Dengan penolakan para kreditur itu secara otomatis PT AIU terancam  dipailitkan. Hal ini tinggal menunggu pengesahan dalam sidang  majelis hakim yang akan digelar pada hari Rabu (22/5/2022).

Baca Juga: Hasil Survei Tunjukkan Pelayanan PN Jakarta Selatan Puaskan Masyarakat

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 255 (1) : Penundaan kewajiban pembayaran utang dapat diakhiri atas permintaan Hakim Pengawas, satu atau lebih kreditur atau atas prakarsa pengadilan.   
 
Seperti diketahui, gugatan perkara PKPU itu diajukan oleh Yuliana dan Anna Fransiska. Keduanya berinvestasi di PT AIU melalui senlai Rp 2 milyar, dengan iming-iming bunga investasi yang cukup tinggi. Kenyataannya, bunga tidak dibayar dan investasinya amblas. Setelah berkali-kali menagih dan gagal, akhirnya keduanya dengan didampingi Advokat Dr. Ir. Albert Kuhon MS SH, Drs Hasan Basri SH.MH  dan Guntur Manumpak Pangaribuan SH mengajukan gugatan PKPU.

Proses persidangan berjalan cukup alot sebelum dilakukan voting. Kuasa hukum pemohon, Hasan Basri sudah berkali-kali menolak dicantumkannya PT Wahana Bersama Nusantara sebagai kreditor yang mengklaim menilai tagihan sebesar Rp 40 M. Kekhawatiran tim kuasa hukum ini terbukti dengan tindakan PT WBN yang menjadi satu-satunya kreditur yang menerima proposal  perdamaian dari PT AIU.

Sebelumnya, Kuhon juga menyayangkan sikap hakim pengawas yang terkesan ada keberpihakan terhadap PT WBN. Menurut Kuhon, seharusnya Tim Pengurus PKPU PT AIU dan Hakim Pengawas PKPU PT AIU yang sudah berpengalaman menangani kasus-kasus PKPU dengan mudah bisa melihat banyak kejanggalan dalam pengakuan utang-piutang antara PT WBN dengan PT AIU. Utang PT Asa Inti Utama (AIU) kepada PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) menurut perjanjian bawah tangan menyangkut transaksi senilai Rp 50.000.000 (lima puluh milyar rupiah).

Perjanjiannya disebut ‘Perjanjian Pinjaman Dengan Opsi Konversi’ tertanggal 18 Februari 2019.Dengan mudah terlibat betapa sejatinya perjanjian itu merupakan dokumen asal-asalan dan akal-akalan murahan. “Secara logika, sangatlah mustahil transaksi yang nilainya puluhan milyar dibuat tanpa diparaf di masing-masing lembar oleh para pihak dan dibuat tanpa akta notaris,”ujar Kuhon.

“Sementara kredit sepeda motor atau kontrak rumah yang cuma jutaan rupiah menggunakan dokumen sangat lengkap dengan akta notaris.”

Kejanggalan lainnya tentang realisasi utang-piutang tersebut juga bisa dilihat secara gamblang.Pasal 2 (Pencairan Pinjaman) ‘Perjanjian Pinjaman Dengan Opsi Konversi’ menyebutkan, pinjaman tahap pertama sebesar Rp 10.000.000 (sepuluh milyar rupiah) akan dicairkan pada tanggal 19 Februari 2019.

Kenyataannya dalam proses verifikasi terungkap ada transfer dari WBN kepada AIU yang dilakukan sebelum 18 Februari 2019 dan dicatatkan sebagai piutang WBN kepada AIU.“Masak Hakim Pengawas tidak bisa membandingkan antara tanggal transfer uang dari WBN ke rekening AIU dengan isi perjanjian dan tetap ngotot mencatatkannya sebagai piutang WBN?” kata Kuhon.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat