unescoworldheritagesites.com

Rakernas BKKBN,  Indonesia harus Bebas Kemiskinan Ekstrem dan Stunting untuk Menuju Indonesia Emas 2045 - News

Kepala BKKBN dokter Hasto Wardoyo (kedua dari kanan) mendampingi Wapres RI Ma'ruf Amin (tengah) saat pembukaan Rakernas BKKBN 2024).

: Pada Rakernas BKKBN 2025, Kepala BKKBN, dokter Hasto Watdoyo, dalam laporannya menyampaikan,  tema  Rakernas seiring dengan arahan Presiden dan Wakil Presiden untuk menyiapkan kualitas SDM dengan sebaik-baiknya.
 
"Kita tahu, Sustainable Development Goals (SDGs)  2030 menjadi akhir dari SDGs dan menjadi batu loncatan menuju Indonesia Emas 2045. Untuk itu, kita harus bebas dari kemiskinan ekstrem, kelaparan, di mana stunting juga menjadi bagian di dałamnya," ungkap dokter Hasto, dalam sambutannya pada Rakernas BKKBN itu. 
 
Pada Rakernas BKKBN itu  fokter Hasto juga mengatakan bahwa tugas BKKBN sangat simpel. Pertama, menjaga Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS). Kedua, bagaimana menciptakan keluarga berkualitas.
 
 
Semua itu disampaikan Kepala BKKBN dokter Hasto Wardoyo, dalam sambutannya pada Rakernas 2024 BKKBN, di Jakarta, Kamis (25/4/2024). 
 
Dikatakannya, untuk menjaga pertumbuhan penduduk seimbang, BKKBN menggunakan indikator Total Fertility Rate (TFR) atau angka kelahiran total rata-rata. Disebutkan, TFR  Indonesia di  1971 sebesar 5. Bahkan ada yang melahirkan  6 hingga 10 anak. 
 
"Dulu, anaknya banyak. Tetapi dengan program pemerintah yang luar biasa dengan jargon 'Dua Anak Cukup', angka rata-rata perempuan melahirkan ditargetkan  2,1 tercapai di 2024. Ternyata di 2022, TFR sudah menyentuh angka 2,18," jelas dokter Hasto. 
 
 
Atas capaian ini, dokter Hasto menyampaikan apresiasi kepada seluruh petugas lapangan sebagai ujung tombak di lapangan, meski disparitas masih terjadi.  
 
Ada daerah yang TFR-nya sudah 2,1, seperti di Jawa, Bali, DI Yogyakarta , DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur. Namun, di sejumlah daerah secara keseluruhan frekuensi kehamilan masih cukup memprihatinkan, seperti NTT dan Papua. "Kesenjangan ini harus bisa dikurangi," tandas dokter Hasto.
 
Di bagian lain, dokter Hasto menyatakan, mendukung apa yang menjadi target Menteri Kesehatan terkait Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). AKI dan AKB menjadi indikator derajat kesehatan bangsa. 
 
 
"Satu bangsa dinilai derajat kesehatannya baik kalau AKI dan AKB nya juga baik. Dan dengan KB yang baik dan program yang ada, akan menurunkan AKI dan AKB," jelas dokter Hasto. 
 
Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian, dalam pandangan dokter Hasto,  adalah bagaimana pergerakan Age Specific Fertility Rate (ASFR) rentang usia 15-19 tahun. Ternyata, dari tahun ke tahun angkanya turun cukup signifikan. 
 
"Setiap 1000 perempuan kalau ditanya sudah hamil atau melahirkan yang menjawab saat ini di angka 20," ujar dokter Hasto.
 
 
Turunnya TFR membuat dependency ratio antara penduduk yang bekerja dan tidak bekerja dan konsumtif semakin turun. 
 
Terbukti, tahun 2020 dependency ratio mencapai angka 44,33. Artinya, 100 penduduk yang bekerja menanggung hanya 44 penduduk yang tidak produktif. 
 
Puncak bonus demografi ini sesungguhnya sudah terjadi di 2020. "Kita sering mengatakan bahwa negara ini tengah memasuki bonus demografi. Tetapi secara nasional
sebetulnya kita sudah pelan-pelan meninggalkan "window opportunity" bonus demografi. Hanya saja satu provinsi dengan provinsi lainnya tidak sama," ungkap dokter Hasto.
 
 
Dokter Hasto mencoba meluruskan posisi puncak bonus demografi, yang ternyata tercapai lebih awal   dibanding proyeksi tahun 2015, yang ketika itu diproyeksikan  puncaknya terjadi di 2030. 
 
Kenapa bonus demografi maju. Menurut dokter Hasto, karena  TFR nya turun. Selain itu, tren orang nikah menurun signifikan. Sepuluh tahun lalu  pernikahan terjadi sebanyak 2 juta pertahun. Saat ini  turun menjadi 1,5 juta pertahun.
 
Tahapan bonus demografi memang tidak merata antar provinsi. Ada provinsi yang sudah masuk tahapan bonus demografi, ada yang sedang berjalan,  ada yang agak memprihatinkan  seperti NTT. Bahkan, provinsi itu belum bisa diramal kapan bonus demografinya dicapai.
 
 
Dokter Hasto juga menyinggung masalah stunting, dikatakannya,  dari tahun ke tahun prevalensi stunting mengalami penurunan signifikan. Meskipun, penurunan itu belum sesuai  harapan, tetapi jumlah keluarga berisiko stunting (KRS)  mengalami penurunan signifikan.
 
“Jadi, keluarga yang tidak punya air bersih, jambannya tidak standar, rumah kumuh, mengalami penurunan yang signifikan,” jelasnya. 
 
Data BKKBN menunjukkan, tahun 2023 jumlah KRS sebanyak 11.896.367 keluarga, turun dari 13.123.418 keluarga di  2022.
 
 
Dokter Hasto mengatakan,  setiap tahun terjadi 1,7 juta pernikahan di Indonesia . Dari pernikahan itu sering calon pengantin (catin) tidak melakukan persiapan menghadapi kehamilan. Perhatian mereka terhadap pre konsepsi sangat rendah.
 
"Dari 1,5 juta yang menikah di tahun 2023, catin  yang bersedia mengukur lingkar lengannya, berat badannya, hanya sebanyak 613.113 calon pengantin.  Dari jumlah itu masih banyak yang terlalu kurus, mencapai 140.163 catin," papar dokter Hasto. 
 
Sementara catin yang mengalami anemia mencapai 20 persen (anemia ringan, sedang, dan berat).
 
 
"Sebetulmya kalau yang nikah di screening betul, banyak yang bisa ditangkap (ditangani, red) di tingkat hulu. Seharusnya kalau mau hamil harus sehat dulu, agar melahirkan bayi yang sehat, terbebas dari stunting," jelas dokter Hasto. 
 
Komitmen  di 2024, menurut dokter Hasto, BKKBN  harus bergerak lebih cepat. Untuk itu, di sela rakernas  diluncurkan program  Akselerasi dalam Percepatan Penurunan Stunting (SIDAK Stunting).
 
"Kita akan melakukan akselerasi, mendampingi dan beraksi dalam program itu 
Tim Pendamping Keluarga (TPK) di lapangan akan siap mendampingi keluarga berisiko stunting," ujar dokter Hasto.***
 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat