unescoworldheritagesites.com

Demokrasi dan Suksesi - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi, Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)

 

 Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi

: Fakta parpol peserta pemilu ternyata mayoritas masih terkekang figur ketua umum dan ini menjadi preseden buruk regenerasi, sementara di sisi lain penyegaran terhadap masa depan parpol juga penting yang terkait kompleksitas problem yang berkembang di masa depan, baik problem internal parpol atau problem bersama koalisi.

Argumennya, karena di kehidupan politik - demokrasi tidak pernah ada musuh abadi, begitu juga koalisi karena yang ada sejatinya hanyalah ‘kepentingan pribadi’, baik individu atau parpol. Pemilihan figur di parpol perlu cermat mempertimbangkan banyak hal, meski fakta yang ada lebih banyak mempertimbangkan subyektifitas figur kepemimpinan dan ketokohan atau trah pendiri parpol. Obyektifitas cenderung diabaikan sementara pemilihan secara aklamasi menjadi simbolis yang menguatkan kultusindividu tertentu, termasuk juga persepsian minor melakukan karbitan terhadap figur tertentu.

Aklamasi dan regenerasi pada dasarnya merupakan kata kunci dalam menjawab realitas problem dan tantangan kepemimpinan di masa depan. Betapa tidak, fluktuasi dan fakta dinamisasi kehidupan demokrasi bergerak sangat cepat dan karenanya komitmen untuk proaktif terhadap semua perubahannya menjadi sesuatu yang haruslah dihadapi, bukan dihindari.

Oleh karena itu ‘kepemimpinan boneka’ di parpol tidak akan bisa menjawab semua dinamisasi perubahan yang terjadi sehingga situasinya akan menjadi rawan yang kemudian bisa berdampak sistemik terhadap internal parpol, termasuk tentu kekisruhan di parpol karena ketidaktegasan dalam menjawab semua persoalan yang ada. Jadi, tahap regenerasi kepemimpinan tidak bisa hanya dilakukan secara aklamasi tetapi harus dapat dipersiapkan secara dini melalui tahapan berjenjang sampai akhirnya bisa di pucuk. Hal ini mengisyaratkan bahwa regenerasi bukan sekedar memilih trah dan figur tokoh tetapi memilih pimpinan yang akan membawa ke puncak kesuksesan suatu parpol.

Tentu sah saja jika parpol berdalih aklamasi karena memang tidak menyalahi AD/ART parpol. Begitu juga dalih suara terbanyak yang mayoritas dominan memilih memang ini menjadi muara untuk penentuan kepemimpinan namun pencapaian tahapannya haruslah sesuai denganr ealitas yang ada bukan sekedar seremonial belaka. Oleh karena itu nama kegiatan baik itu kongres atau muktamar tidak menjadi penting karena yang terpenting adalah bagaimana pencapaian suksesi dan regenerasinya berjalan lancar dan juga sesuai dengan amanat semua anggota dan peserta.

Terkait ini, kisruh dalam kongres dan atau muktamar juga menjadi pemandangan yang unik jika dikaitkan dengan urgensi memilih figur pemimpin dalam parpol. Ironisnya, kongres tandingan dan munculnya pemimpin tandingan justru membuat kepongahan dalam berdemokrasi karena pada akhirnya tetap hanya ada 1 parpol yang diakui pemerintah menurut perundangan yang berlaku karena berkepentingan terhadap aliran dana bantuan untuk parpol. Kisah kelam kudatuli yang memecah PDI menjadi PDIP (Megawati) dan PDI (Soerjadi) haruslah dicermati.

Belajar bijak dari kehidupandemokrasi dan juga fluktuasi kuantitas serta kualitas dalam kehidupan parpol selama ini memberikan gambaran betapa parpol menjadi komponen penting dalam ritme pendewasaan kehidupan demokrasi di republik ini. Tentunya tidak salah jika parpol melanggengkan kekuasaan kepemimpinannya terhadap figur tertentu karena memang prosedural sah sesuai AD/ART tetapi perlu diantisipasi kerawanannya.

Kekuasaan yang langgeng oleh figur tertentu atau trah tertentu bisa jadi ini murni suara dari akar rumput, meski bukan tidak tertutup kemungkinan di skenario untuk kebijakan dan strategi tertentu yang memang hanya diketahui oleh para petinggi parpol sementara akar rumput hanya mengamini saja. Disisi lain fenomena seperti ini menjadikan parpol terkekang oleh model oligorki dan demokrasinya menjadi semu.

Yang justru menjadi pertanyaan mengapa ini bisa terjadi, pertama: adanya persepsian bahwa si tokoh adalah figur yang memiliki kharisma kuat. Kedua: kenyamanan yang terbangun dari figur atau tokoh pemimpin yang sudah ada sehingga zona nyaman ini tidak tergantikan. Ketiga: penciptaan oleh segelintir tokoh di parpol yang berusaha melanggengkan seseorang dan tentu ini ada motif yang terkandung sehingga persepsian terhadap ‘bisa dipilih kembali’ menjadi strategi untuk melanggengkannya dan sekaligus hak prerogatifnya.***

Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat