unescoworldheritagesites.com

Kedunguan Berpikir Inas Zubir - News

Politisi muda Partai Hanura Agung Giantoro

 



  Oleh: Agung Giantoro


: Tulisan ini coba mencerdaskan cara berpikir dungu dari seorang yang mengaku politisi senior Partai Hanura bernama Inas Zubir, yang tulisannya beredar di grup-grup WhatsApp aktivis partai.

Ada tiga "kedunguan" yang ia kemukakan dalam tulisan tersebut :
1). Terminologi koalisi dan kerja sama politik Bung Inas mempermasalahkan penggunaan terminologi "Koalisi" dan "Kerja sama" politik, yang pernah disebutkan Ketum Hanura (Dr. Oesman Sapta) yang kemudian dikemukakan Ketum PDIP (Megawati) saat Rakernas PDIP di Ancol beberapa hari yang lalu.

Ada dua point yang perlu dipahami oleh Bung Inas :
a). Ilmu politik termasuk dalam rumpun ilmu sosial. Di mana definisi dari sebuah terminologi / kosakata dalam ilmu politik tidak bisa dihakimi dalam perspektif sempit dan kaku, seperti dalam ilmu eksata (Fisika, Kimia, Biologi, Matematika).

Baca Juga: Hanura Deklarasikan Ganjar. Hasto: Momentum Rebound dan Tambahan Mesin Politik Bagi Ganjar


 Satu istilah dalam ilmu politik bisa memiliki puluhan bahkan ratusan definisi, tergantung pakar / ilmuwan yang memberikan definisinya. Contoh definisi "Negara" ada puluhan pakar yang mengkonseptualisasinya.

 Di antaranya Roger H Soltau, Harold J Laski, Robert MC Iver, Max Weber, Karl Marx, hingga Miriam Budiharjo.

b). Apa yang dikatakan Oso bahwa Hanura tidak berkoalisi melainkan kerja sama dengan PDIP dalam mengusung Ganjar - Mahfud di Pilpres adalah bentuk kecerdasan politik praktis sekaligus akademis.

Baca Juga: Peringati HUT Kemerdekaan, DPD Hanura Jatim Gelar Donor Darah


Hal tersebut diamini Megawati saat pidatonya di Rakernas PDIP di Ancol. Kalau Bung Inas mempelajari praktik politik dan ketatanegaraan di banyak Negara modern sejak abad 20 dan 21 sekarang.

Memang nyaris tidak dikenal terminologi "Koalisi" dalam praktik politik di negara-negara yang menganut sistem Presidensial (Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan).

Di mana Indonesia jelas menganut sistem Presidensial (Pasal 4 ayat 1 UUD 1945). Contoh di Pilpres Amerika Serikat, apakah ramai penggunaan istilah koalisi partai dalam mengusung kandidat Presiden? Begitu juga di Argentina, Brasil, atau Filipina yang menganut sistem Presidensial.

Baca Juga: Partai Hanura Siapkan Kontestasi Di Pemilu 2024

Detik News pernah menurunkan artikel berita berjudul "Kata Ahli Hukum Soal Koalisi : RI sistem Presidensial, bukan Parlementer", pada tanggal 28 April 2023.

"Dalam sistem Presidensial seperti di Indonesia tidak dikenal Koalisi. Koalisi hanya dikenal disistem Parlementer", kata pakar hukum tata Negara UNS Solo, Agus Riewanto.

"Konstitusi kita tidak mengenal Koalisi dan dalam konsep hukum Tata Negara Koalisi itu digunakan di sistem Parlementer. Kita harus ingat Pasal 4 UUD 1945 dan Pasal 17 UUD 1945. Memang tidak ada Koalisi tapi yang ada kerja sama dalam pemenangan Pilpres", kata Dr. Oce Madril (Dir. Eksekutif Pusat Kajian Hukum dan Pemerintahan - PUSHAN).

2). Hanura dinilai telah menjadi ORSAP dan kacung PDIP Penilaian Bung Inas bahwa Hanura telah menjadi ORSAP dan kacung PDIP, karena pernyataan OSO bahwa Hanura akan terus bersama PDIP. Merupakan bentuk kedunguan kedua dari seorang yang mengaku politisi senior.

Justru statemen Oso itu merefleksikan political virtue (kebajikan politik). Refleksi nilai-nilai ideal politik yang selama ini sering ditanggalkan dalam praktik dunia politik kita. Yaitu nilai loyalitas dan kesetiakawanan dalam memperjuangkan idealisme politik.

Selama ini politisi-politisi kita terjebak dalam hyper pragmatisme politik. Segala sesuatu motif dan tindakan politik diukur oleh jabatan (kekuasaan) dan uang (kekayaan).

Ketika dalam koalisi atau kerja sama tidak berhasil mendapatkan dua hal tersebut, maka meninggalkan kawan koalisi adalah sebuah keniscayaan.

Keputusan Hanura untuk terus bersama dengan PDIP, tentu memiliki pertimbangan strategis, yang lebih mengutamakan perjuangan mewujudkan visi politik kebangsaan jangka panjang. Bukan sekedar untuk dapat jatah menteri atau komisaris BUMN. Kata-kata kasar (sarkasme) Bung Inas,  bahwa Hanura telah menjadi ORSAP dan kacung PDIP, membuktikan kedunguan politik seorang Inas Zubir. Hanura jelas partai independen (yang memiliki AD/ART sendiri, organisasi sendiri, kader - anggota), PDIP pun demikian.

3). Selesai Pilpres, koalisi atau kerja sama harusnya berakhir
Bung Inas juga mengatakan, "dengan kalahnya pasangan Ganjar - Mahfud yang diusung PDIP, Hanura, Perindo, dan PPP, maka berakhir juga koalisi atau kerja sama mereka". Statemen ini adalah bentuk kedunguan berikutnya dari seorang Inas Zubir. Tak ada regulasi (UU) atau kaidah umum, tentang harus bubarnya koalisi atau kerja sama politik ketika kalah di Pilpres. Semua partai memiliki kebebasan dalam menentukan sikap politiknya, apakah akan bubar atau terus kerja sama.

Justru kalau ada kumpulan partai (koalisi atau kerja sama) yang tetap terus bersama walaupun kalah di Pilpres, berarti kumpulan partai tersebut (PDIP, Hanura, Perindo, PPP) adalah partai-partai yang lebih mengedepankan idealisme politik (visi kebangsaan) ketimbang pragmatisme politik sempit (jabatan dan uang).

Kedewasaan dan kecerdasan berpolitik seorang politisi, tidak hanya ditentukan pengalaman, namun juga luasnya wawasan dan banyaknya bacaan. Semoga akan banyak lahir politisi intelektual bukan politisi bebal. ***

Penulis adalah
Politisi Muda Partai Hanura

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat