unescoworldheritagesites.com

Soal Pertanian, Giliran Kita Belajar Dari Malaysia - News

Ketua Umum PWI Pusat Atal Sembiring Depari menyerah cendera mata kepada Perdana Menteri Malaysia Dato’ Ismail Sabri Yakoob (Ist)

Oleh: Atal S Depari

:  Sambutan itu menarik, tidak hanya karena saya menemukan beberapa kata dalam Bahasa Melayu yang artinya hanya saya kira-kira, sesuai pertautan maknanya dengan kata-kata lain dalam kalimat. Yang lebih mengesankan, pidato pendek itu membawa saya kepada kenangan pertengahan tahun 1980-an, tatkala saya mulai menjadi wartawan.

Waktu itu, yang paling saya ingat adalah kutipan pernyataan Malcolm X, tentang kuasa media massa. “Media massa adalah entitas paling kuat di muka bumi ini. Mereka memiliki kuasa untuk membuat pihak yang tidak bersalah menjadi bersalah, dan membuat yang bersalah menjadi tidak bersalah. Itu karena mereka mengendalikan pikiran massa.”

Pernyataan Malcolm benar-benar memberikan pengaruh kuat terhadap saya, sekaligus rasa bangga akan pekerjaan saya sebagai wartawan. Tidak hanya karena pernyataannya sendiri begitu dalam dan tegas, kekaguman saya kepada figur tokoh pergerakan Muslim Amerika Serikat-- yang mengaku terkesan akan Dasa Sila Bandung tahun 1955-- itu memang begitu kuat.

Bagi saya, Malcolm yang semula penjahat jalanan namun mampu mengubah diri menjadi seorang Muslim taat dan tokoh pergerakan masyarakat sipil terkemuka di dunia itu, benar-benar menginspirasi.  

Itu yang dalam bahasa dan redaksional lain saya temukan kembali pada sambutan Perdana Menteri Malaysia Dato’ Ismail Sabri Yakoob, pada perhelatan Hari Wartawan Nasional (Hawana) Malaysia, Minggu (29/5/2022) lalu, di Melaka, Malaysia. Sebagai Ketua Umum PWI Pusat, saya hadir bersama 14 pimpinan media massa Indonesia lainnya yang diundang dalam acara tersebut. 

Sejatinya, pribadi PM Malaysia itu pun sudah mengesankan. Datang tanpa pengawalan yang berarti, Dato’ Ismail Sabri terkesan muncul mendadak. Kedatangan Beliau bahkan tak membuat kami sadar, misalnya, karena raungan sirene plus konvoi kendaraan (voorijder) yang mendahuluinya.    

“Peranan media ini bisa memburukkan, atau sebaliknya, membaikkan keadaan," ujar PM Ismail Sabri, dalam Bahasa Melayu yang khas. Peran media itu pula menurut Beliau, yang pernah menggoreskan sejarah mendung dalam hubungan Indonesia-Malaysia. 

“Kalau media memerankan diri sebagai pelaku perpecahan, perpecahanlah yang terjadi. Tapi kalau media membawa perkara penyatuan, kita akan bersatu," katanya. Beliau mencontohkan berita seputar tarian Jawa, Reog, yang sempat disebut-sebut diklaim sebagai milik Malaysia. 

Yang terjadi, menurut PM Ismail Sabri, urusan itu sebenarnya tidak memiliki hubungan apa pun dengan negara. Tarian itu lazim diperagakan etnis Jawa yang tinggal di Malaysia, terutama Johor dan Selangor, tanpa ada klaim kepemilikan dari Malaysia sebagai negara.  

“Apabila dibawa ke arah perpecahan, maka dikatakan bahwa Malaysia mencuri tarian Indonesia. Tapi kalau media paham dan menulis bahwa tarian Jawa itu diperagakan oleh etnik Jawa di Malaysia, tentu tidak akan ada isu," kata Ismail Sabri, menambahkan. 

Jujur, saya sendiri baru sadar apa yang sebenarnya terjadi dalam isu klaim kepemilikan hak warisan budaya yang sempat memanaskan hubungan Malaysia-Indonesia tersebut. Tapi bukan hanya keyakinan akan pentingnya pers, yang membuat PM Malaysia yang satu ini langsung membuat saya terkesan. Yang membuat pribadi tokoh ini impresif, terutama adalah keyakinannya akan keharusan terwujudnya iklim pers yang bebas namun—maaf bukan mengambil idiom Orde Baru—bertanggung jawab. Itu yang menurut saya membedakannya dari banyak pemimpin eksekutif tertinggi Negeri Jiran itu, bahkan dengan tokoh legendaris Mahathir Mohamad sekalipun. 

Meskipun dalam indeks World Press Freedom untuk 180 negara di dunia yang setiap tahun dipublikasikan Reporters Without Borders (RSF), Malaysia selalu sedikit lebih baik dibanding Indonesia, kecuali tahun 2021 lalu—(pada 2022-2021-2020 Indonesia berada di urutan 117, 113 dan 119, sementara Malaysia 113,119,101)—di ruang-ruang media, iklim kebebasan lebih hidup dan terasa di Indonesia dibanding Malaysia. Lihat saja halaman-halaman media Negeri Jiran itu, yang lebih sering dipenuhi berita-berita seremonial, puja-puji akan kesuksesan, dibanding kritik yang membangun.  

Mungkin hal itu terkait erat dengan pemberlakuan Undang-Undang Internal Security Act (ISA), yang diberlakukan awal 1970-an. Meski ISA dicabut 2012, tiga tahun kemudian Malaysia memberlakukan undang-undang yang tak sama, tapi serupa dengan ISA. Puluhan tahun berada dalam kekangan, apalagi urusan pers di Malaysia langsung berada di bawah Departemen Dalam Negeri sehingga pelanggarannya langsung ditangani polisi, bukan Dewan Pers seperti di sini, tampaknya membuat wartawan Malaysia telah sangat terbiasa bertiarap.   

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat