unescoworldheritagesites.com

Mengatasi Intoleransi dalam Tata Kebhinekaan Indonesia: Update dan Rekomendasi terkait Peribadatan - News

Hendardi  (dokumentasi )

Oleh: Hendardi 

:  Selamat Hari Toleransi Internasional. Toleransi merupakan etika kolektif yang dipersyaratkan dalam tata kebinekaan. Sebagai negara bineka, Indonesia mesti terus mewujudkan praktik dan pemajuan toleransi. Selain itu, Indonesia mesti menjadi teladan dalam tata kebinekaan yang toleran toleran dan inklusif bagi seluruh komunitas internasional.

Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan penggagas dan tuan rumah forum tingkat dunia *Religions 20 (R20) dalam kerangka presidensi G20 yang mana KTT-nya sedang berlangsung di Bali.* Dengan penyelenggaraan R20, Indonesia tentu berkontribusi mempromosikan peran agama dalam mendukung toleransi dan perdamaian. Salah satu fokus bahasan dalam R20 adalah isu minoritas agama yang seringkali mendapat persekusi di berbagai negara.

Baca Juga: Setara Intitute, Penetapan Jerat Pidana pada Sejumlah Anggota dalam Kasus Kematian Brigadir J Harus Hati Hati

Dalam konteks yang lain, pada tanggal 9 November yang lalu, Indonesia juga dievaluasi untuk oleh seluruh anggota PBB melalui mekanisme *Universal Periodic Review (UPR) di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss.* Salah satu isu yang dievaluasi adalah kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB).

Dalam pantauan SETARA Institute, banyak sekali negara-negara yang memberikan rekomendasi terkait dengan KBB, mulai dari kebijakan yang diskriminatif dan intoleran hingga gangguan dan persekusi terhadap kelompok minoritas, rumah ibadah, dan kegiatan peribadatan mereka.

Baca Juga: Setara Institute: Tak Bisa Terima Terhadap Penganiayaan Ade Armando, Usut Dan Fokus Pada Substansi Demokrasi

SETARA Institute mencatat persekusi terhadap minoritas di Indonesia terjadi dalam beragam wujud. Salah satu yang paling sering terjadi adalah gangguan rumah ibadah. Gangguan rumah ibadah mencakup penolakan pembangunan rumah ibadah, gangguan saat pembangunan rumah ibadah, penyegelan tempat ibadah, gangguan saat ibadah di rumah ibadah, perusakan rumah ibadah, dan penyerangan terhadap orang yang terjadi di tempat ibadah/rumah ibadah yang dilakukan baik oleh aktor non-negara dan/atau negara.

Merujuk data longitudinal SETARA Institute mengenai Kondisi KBB, 2007-2022, perusakan tempat ibadah dan penolakan pendirian tempat ibadah menempati top 5 dalam kategori jenis pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan terbanyak dengan jumlah 140 peristiwa perusakan dan 90 peristiwa penolakan.

Data terbaru SETARA Institute dari Januari 2022 hingga akhir September 2022 menunjukkan, terdapat setidaknya 32 peristiwa gangguan rumah ibadah. Angka ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan data annual pada kategori yang sama dalam lima tahun terakhir, yaitu 44 peristiwa (2021), 24 peristiwa (2020), 31 peristiwa (2019), 20 peristiwa (2018), dan 17 peristiwa (2017).

SETARA Institute menggarisbawahi beberapa _insight_ terkait gangguan rumah ibadah.

_Pertama,_ pada tahun 2022 sejauh ini, masjid mengalami gangguan terbanyak, yaitu 15 peristiwa, diikuti dengan gereja sebanyak 13 peristiwa. Namun, perlu digarisbawahi bahwa sebagian besar masjid yang menjadi objek gangguan adalah Masjid Ahmadiyah dan masjid-masjid lain yang ‘berbeda’ dari kelompok muslim arus utama (mainstream).

_Kedua,_ data SETARA Institute menunjukkan meningkatnya tren intoleransi terhadap keberagaman intraagama. Dalam kasus penolakan dan gangguan terhadap masjid, mayoritas gangguan datang dari sesama muslim dan terjadi di wilayah mayoritas Islam.

_Ketiga,_ gangguan terhadap vihara meningkat. Hingga akhir September 2022, terdapat 4 peristiwa gangguan terhadap vihara. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pada tahun 2020 dan 2021 masing-masing hanya 1 kasus gangguan terhadap vihara. Sementara pada tahun 2017-2019 tidak ditemukan kasus gangguan vihara. Adapun gangguan terhadap vihara pada tahun 2022 ini tersebar di berbagai lokasi, seperti Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Vihara-vihara tersebut ditolak karena dibangun di daerah yang mayoritas muslim dan terdapat kekhawatiran akan Buddhanisasi, yaitu menyebarkan ajaran Buddha dan membuat muslim melakukan konversi, menjadi beragama Buddha.
Dari berbagai kasus gangguan rumah ibadah, SETARA Institute menyoroti pola yang masih terus dilanggengkan, yaitu penggunaan alasan administrasi untuk melakukan restriksi dan persekusi. Ketidaklengkapan persyaratan pendirian rumah ibadah dijadikan sebagai justifikasi bagi keengganan terhadap rumah ibadah agama lain maupun rumah ibadah aliran yang berbeda dalam satu agama yang sama.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat