unescoworldheritagesites.com

Henry Indraguna Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat: Sistem Pemilu Proposional Terbuka - News

 Anggota Tim Ahli Hukum dan Perundangan-undangan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpes) yang juga Anggota Dewan Pakar Partai Golkar, Henry Indraguna mengingatkan Putusan MK adalah final dan mengikat atas putusan terkait Sistem Pemilu Proposional Terbuka (AG Sofyan )

 
: Anggota Dewan Pakar Partai Golkar Henry Indraguna meminta Majelis Hakim Konstitusi menolak permohonan hak uji materil terkait sistem pemilihan terbuka menjadi sistem pemilihan tertutup.
 
Henry menegaskan Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang memiliki kapasitas kenegarawanan yang mumpuni dan sangat paham bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan dalam pencerminan proses demokratisasi di Indonesia sudah seharusnya menyatakan menolak permohonan uji materiil (Judicial Review) terhadap Undang-undang Pemilu ini.
 
 
"Putusan Hakim MK sudah sepatutnya harus menolak permohonan uji materiil ini demi menjaga kedaulatan yang berada di tangan rakyat," tegas Doktor Ilmu Hukum di dua perguruan tinggi ternama ini kepada dari New York, Amerika Serikat, Rabu (4/1/2023)
 
Henry menjelaskan, sejak 2008 sistem pemilu Indonesia menganut sistem proporsional terbuka, yang diberlakukan sebagai bentuk ketaatan kepada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan sejak 23 Desember 2008. 
 
 
"Dengan begitu permohonan hak uji materiil terkait sistem pemilihan terbuka menjadi sistem pemilihan tertutup sudah seharusnya dinyatakan di tolak, demi menjaga kedaulatan yang berada di tangan rakyat," ucap Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.
 
Ketentuan Pasal 168 Ayat 2 yang menyatakan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan Sistem Proporsional Terbuka, berserta dengan ketentuan-ketentuan pasal terkait lainnya seperti ketentuan Pasal 342 Ayat 2, Pasal 352 ayat 1 huruf b Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3), telah sedang dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi RI, dengan dalil-dalil yang pada pokoknya Pemohon berpendapat bahwa UU Pemilu telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi partai politik dan pengurus partai politik. 
 
 
Henry Indraguna yang juga Anggota Tim Ahli Hukum dan Perundangan-undangan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpes) menuturkan pada dasarnya di dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 22-24/PUU-VI/2008, tanggal 23 Desember 2008 juga telah sangat jelas dan terang dinyatakan sebagai berikut: Bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. 
 
Dengan demikian adanya keinginan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat terwujud, harapan agar wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. 
 
 
"Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak," jelas Henry.
 
MK Jangan Ditekan
 
Sekarang ada beberapa partai yang melayangkan uji materiil terhadap Pasal 168 ayat 2 Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2019 ke MK. Uji materiil ini mempersoalkan aturan sistem proporsional terbuka. 
 
 
Menurut Henry Indraguna setelah diputus dan disahkan oleh MK, hal itu menjadi keputusan yang mengikat dan final. Sekalipun  dalam pengambilan keputusan dilakukan individu hakim yang berbeda, namun keputusan mereka adalah keputusan MK sebagai sebuah lembaga hukum. 
 
"Kepada Hakim MK agar jangan sampai ada kesan, MK dapat ditekan atau dipengaruhi oleh kekuatan politik tertentu yang getol dan sering mengusung sistem pemilu proporsional tertutup," ujar Politisi Golkar yang ditugaskan membina wilayah Solo Raya dengan berbagai aksi sosial untuk masyarakat Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Boyolali, dan Klaten ini.
 
 
Jika ada sebuah pasal yang pernah digugat dan diputuskan oleh MK pada tahun 2008 lalu, apakah juga bisa digugat lagi di lain waktu. 
 
"Bagi saya itu adalah keputusan lembaga MK, bukan lagi keputusan individu hakim," tandasnya.
 
“Jika sebuah pasal yang sudah pernah digugat, disidangkan dan diputuskan oleh MK. Kemudian lain hari bisa digugat lagi oleh pihak tertentu, maka akan menjadi pembenaran bagi banyak pihak yang tidak setuju dengan Putusan MK terdahulu untuk mengugatnya lagi di kemudian hari. Sehingga dapat merusak legitimasi hukum di Indonesia," terang Henry.
 
 
8 Parpol Tolak Minus PDIP 
 
Diberitakan sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menyampaikan adanya kemungkinan sistem pemilihan terbuka pada Pemilu 2024 berubah menjadi sistem proporsional tertutup. 
 
Pasalnya, saat ini ada permohonan judicial review atau uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang terkait sistem proporsional terbuka. 
 
Sejumlah bakal calon legislatif (bacaleg)  menginginkan agar Pemilu 2024 dilaksanakan dengan sistem tertutup, bukan lagi dengan sistem terbuka.
 
 
Jika permohonan itu dikabulkan, maka kontestasi pemilu mendatang bisa dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup.
 
Namun upaya judicial Review ini juga mendapatkan penolakan keras dan meluas dari sejumlah aktivis prodemokrasi bahkan partai politik itu sendiri.
 
Delapan dari sembilan fraksi yang ada di DPR meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) tetap mempertahankan aturan sistem proporsional terbuka atau mencoblos calon anggota legislatif (Caleg) di Pemilu 2024.
 
 
Hal itu merupakan pernyataan sikap bersama delapan fraksi di DPR untuk merespons wacana pemberlakuan lagi sistem proporsional tertutup atau mencoblos partai.
 
Delapan Fraksi itu adalah Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PAN, NasDem, PPP, dan PKS. PDIP satu-satunya fraksi yang tak ikut dalam pernyataan sikap bersama ini. ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat