unescoworldheritagesites.com

Majelis Hakim PN Jakarta Utara Menjadi Saksi Dalam Persidangan? - News

PN Jakarta Utara

JAKARTA: Niko Satria menjadi duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara lantaran dilaporkan mantan istrinya atas dugaan memberikan keterangan palsu dalam persidangan perceraian sebelumnya.

Dalam persidangan Rabu 28 Juli 2021 lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Magdalena Manjorang menghadirkan tiga saksi, mantan isteri Niko yaitu Laora Ocktreya saksi korban/pelapor dan kakak serta sepupu pelapor.

Dalam persidangan tersebut, Laora bersaksi bahwa hasil putusan sidang perceraian mereka menyebutkan bahwa dirinya sering memukul terdakwa. Padahal fakta sebenarnya tidak benar. Isi putusan perceraian yang didasarkan pengakuan terdakwa inilah yang kemudian dipidanakan pelapor.

Majelis hakim pimpinan Taufan Mandala SH MH dengan amggota Djuyamto SH MH dan Agus Darwanta SH MH, Laora menjelaskan pada salinan putusan gugatan perceraiannya dengan No: 16/Pdt.G/2018/PN Jakarta Utara, ada disebutkan bahwa saksi Laora sering melakukan kekerasan terhadap terdakwa Niko. Sedangkan menurut Laora, terdakwalah yang justru pernah melakukan kekerasan terhadapnya.

Pada saat sidang gugatan cerainya, Laora mengungkapkan dirinya tidak diperbolehkan datang ke persidangan. “Pertama saya hadir Bu. Setelah itu mediasi, kemudian setelah itu saya tidak diperbolehkan untuk hadir,” ungkap Laora saat ditanya JPU perihal kehadirannya dalam sidang cerai tersebut.

Loura mengatakan, terdakwa Niko pernah berteriak, melakukan kekerasan verbal dan hampir melempar gelas padanya. Menurut saksi, hal ini dilakukan terdakwa untuk mencegah terdakwa hadir di persidangan.

Setelah putusan sidang gugatan tersebut keluar, terdakwa pernah meminta untuk bertemu dengan Loura. Loura sempat menolak ajakan itu karena takut. Namun akhirnya Loura setuju untuk bertemu dengan terdakwa dengan syarat pertemuan itu harus di ruangan terbuka.

Menurut Laura, pada pertemuan itu dia diminta terdakwa untuk membenarkan isi putusan No: 16/Pdt.G/2018/PN Jakarta Utara, karena ada keluarga dari selingkuhan terdakwa yang ingin mengkonfirmasi perihal perceraiannya. Laora mengaku tidak terima jika dirinya harus membenarkan keputusan itu.

Sepupu Laora yang juga menjadi saksi di persidangan menerangkan bahwa dia turut menghadiri pertemuan yang dilakukan setelah perceraian. Tetapi untuk perceraiannya sendiri saksi kurang mengetahuinya. Sedangkan kakak korban, mengaku bahwa terdakwa Niko pernah datang ke rumahnya dan mengatakan bahwa Laora sering melakukan pemukulan kepada terdakwa.

Saat persidangan belangsung, kuasa hukum terdakwa sempat meminta Laora menunjukan kalimat yang menyatakan terdakwa melakukan kekerasan pada pelapor. Ternyata kalimat tersebut tidak ditemukan di gugatan, tetapi muncul di bagian pertimbangan hakim.

Oleh karena pasal yang didakwaan JPU adalah pasal 242 ayat 1 KUHP, majelis hakim pun mempertanyakan pembuktian pasal yang didakwaan tersebut. Pasal 242 ayat 1 KUHP mengatakan bahwa, “Barang siapa dalam keadaan dimana Undang-Undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

Majelis hakim pun bertanya kepada saksi apakah melihat terdakwa disumpah atau mengatakan keterangan palsu di sidang gugatan perceraiannya. Saksi menjawab tidak. Dia hanya tahu melalui putusan tersebut.

Majelis hakim kemudian menjelaskan isi pasal tersebut kepada terdakwa. Menurut hakim pasal yang didakwakan itu merupakan pasal tentang memberikan keterangan palsu di dalam persidangan. Untuk itu bukti yang harusnya diajukan ke persidangan adalah bukti yang mendukung pasal yang didakwakan. Sedangkan dari ketiga saksi yang dihadirkan, tidak ada yang melihat Niko disumpah di persidangan, atau pun menghadiri sidang gugatan perceraiannya. Menanggapi hal itu, JPU mengatakan bahwa pihaknya sudah menolak berkas perkara ini sampai lima kali.

Laora bersama kuasa hukumnya, Echa, menanyakan perihal pasal 242 KUHP kepada JPU. Menurut pihak Laora, pada berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P21) di Polda Metro Jaya, pasal yang disangkakan adalah pasal 242 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1. Namun dalam persidangan dan dakwaan yang tertera di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Utara, pasal 55 ayat 1 ini tidak disebutkan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat