unescoworldheritagesites.com

Verifikasi Aset Jiwasraya-Asabri Saja Kagak Pernah, Pakar: Kejaksaan Lakukan Abuse of Power - News

JAKARTA: Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Dr Eva Achjani Zulfa menyebut bahwa penyitaan dan perampasan di dalam KUHAP adalah istilah yang berbeda. Maka menilik kasus Jiwasraya-Asabri yang  juga menyandera dan menyengsarakan 26 ribu investor, salah satunya yang berada di Asuransi Jiwa WanaArtha maka kepada Kejaksaan selaku penegak hukum harus hati-hati dalam melakukan kedua upaya tersebut dalam rangka pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi.

Pernyataan tersebut disampaikan Eva menyikapi polemik abuse of power penegak hukum dalam perampasan aset dalam kasus Jiwasraya-Asabri yang diduga serampangan dan ugal-ugalan ibarat "begal" hukum.

"Penyitaan dan perampasan di dalam KUHAP adalah istilah yang berbeda, tindakannya juga tidak sama antara penyitaan dan perampasan," kata Eva dalam webinar bertajuk Perilaku Abuse of Power Berkedok Penegakan Hukum di Jakarta, Sabtu (31/7/ 2021).

Menurut Eva, barang yang disita adalah barang yang berkaitan dengan tindak pidana, barang hasil dari tindak pidana, barang yang dipakai untuk satu tindak pidana, atau barang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana.

"Nah, di luar itu barang-barang yang tidak berhubungan langsung, yang tidak ada kaitannya dan tidak dipakai untuk satu tindak pidana, yang bukan merupakan hasil dari tindak pidana, tidak boleh disita. Kita kan membacanya kontra riil seperti itu. Karena memang tujuannya terbatas untuk mencari barang bukti dari suatu tindak pidana," tegasnya.

Eva mengkritisi penyidik yang seharusnya melakukan verifikasi atau klasifikasi secara detil terhadap suatu barang sehingga dapat diketahui dengan pasti barang tersebut terkait atau tidak dalam suatu kejahatan tindak pidana.

"Saya rasa, dalam kasus ini (Jiwasraya-Asabri-red) tindakan klasifikasi atau verifikasi aset tidak bekerja. Padahal penyidikan itu seharusnya bukan hanya sekadar investigasi membuktikan unsur, tapi juga proteksi oleh mereka sebagai alat negara yang menjaga hak-hak masyarakat yang menjadi korban dari sebuah sistem. Untuk itulah penyidik wajib meng-coding alias memilah barang atau aset-aset yang disita," jelas Eva.

Sehingga, lanjut dia, jika diketahui ada barang milik pihak ketiga yang kemudian tersita, maka seharusnya harus dikembalikan segera ke pemiliknya.

"Ini masalahnya berkaitan dengan the rights of property dalam HAM yaitu hak untuk memiliki sesuatu dan menggunakannya, termasuk pula hak untuk membeli maupun menjual sesuatu," tuturnya.

Eva pun mengingatkan penggunaan Pasal 45 KUHAP yang menjadi dasar Kejaksaan Agung melelang sejumlah aset yang diduga terkait perkara Asabri. Dia menegaskan pelelangan bisa dilakukan sekali atas izin hakim namun juga harus izin terdakwa ataupun kuasa hukumnya.

"Perlu diingat KUHAP membatasi bahwa yang dapat dirampas adalah terbatas pada barang yang dapat dibuktikan berasal atau terkait erat dengan kejahatan (korupsi) saja," ujarnya.

Hidden Agenda Kejagung

Sementara kuasa hukum nasabah WanaArtha Life, Palmer Situmorang menilai penyidikan kasus Jiwasraya yang dilakukan kejaksaan terselip sebuah agenda atau hidden agenda.

"Saya melihat terdapat suatu agenda, baik yang disadari atau yang tidak disadari oleh penyidik Kejaksaan, seperti ada euforia ingin mengejar target sesuatu di mata publik atau penguasa. Oh, kami sudah menyita banyak, sebanyak banyaknya, bahkan dengan pongahnya mereka menyebut tidak perlu dicari untuk biaya atau untuk menutup biaya negara atas kerugian yang dikumpulkan," ungkap Palmer sengit.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat