unescoworldheritagesites.com

Laode: Remisi Untuk Koruptor Coreng Image Bangsa Indonesia - News

Laode M Syarief

JAKARTA: Mantan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menilai, pemberian remisi Kemerdekaan RI terhadap narapidana korupsi, khususnya kepada Djoko Tjandra,  mencoreng image bangsa Indonesia. Pasalnya, karena napi itu menyuap polisi, jaksa bahkan beberapa pegawai yang membantu pengurusan KTP dan lain-lain.

“Dia adalah orang jahat yang mempermainkan hukum Indonesia, sehingga sangat tak layak untuk mendapatkan remisi," kata Syarif, Minggu (22/8/2021).  Dia juga menilai remisi terhadap Djoko Tjandra ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006. Pasal 34 ayat (3) PP tersebut menyebutkan bahwa berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa pidana menjadi salah satu syarat dapat remisi.

"Remisi terhadap Djoko Tjandra adalah bertentangan dengan PP yang masih berlaku. Apalagi Djoko Tjandra ini baru saja menjalani hukuman setelah melarikan diri selama 11 tahun," kata dia. Dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan bahkan disebutkan salah satu syarat napi korupsi dapat remisi adalah berstatus sebagai Justice Collaborator. "Seharusnya hanya ‘justice collaborator’ yang bisa dapat remisi," ujar Syarif.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga menilai tidak alasan untuk memberikan remisi pada Djoko Tjandra sebagaimana ketentuan pemberian remisi pada narapidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1999 yang turunannya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.  “Berkelakuan baik, sudah menjalani satu per tiga masa hukuman, menjadi justice collaborator, dan telah membayar denda,” jelasnya. DJoko Tjandra tidak layak diberi remisi karena tidak memenuhi empat syarat tersebut.

“Oleh karena tidak memenuhi syarat berkelakuan baik. Selain melakukan pelarian, tindak pidana yang dilakukan sangat merugikan masyarakat,” terangnya. Dia berharap pemberian remisi pada Djoko Tjandra bukan karena alasan di luar hukum. “Patut diwaspadai apa alasan yuridis logisnya dari pemberi remisi tersebut. Jangan sampai pertimbangan pemberian remisinya non yuridis," ungkapnya. 

Djoko Tjandra tidak berhak mendapatkan remisi, kata Fickar,  karena tindakan yang dilakukan telah melibatkan banyak aparat penegak hukum seperti Pinangki Sirna Malasari dan Napoleon Bonaparte.  “Ditjenpas itu mencari-cari alasan dan tidak peka terhadap rasa keadilan yang hidup di masyarakat,” katanya.

KPK mengakui remisi merupakan hak narapidana. Namun, KPK mengingatkan adanya syarat untuk memberikan remisi kepada narapidana perkara korupsi. Menurut Plt Jubir KPK Ali Fikri ke-214 koruptor  yang mendapat remisi dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM seyogyanya telah syarat yang telah ditentukan.

Hanya saja Ali mengakui, ranah KPK hanya sebatas menyelidik, menyidik, dan menuntut sesuai fakta, analisis, serta pertimbangan hukum. Namun demikian, Ali menekankan, korupsi merupakan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang berimbas buruk pada multi-aspek sekaligus dapat merugikan keuangan maupun perekonomian negara.

Untuk itu, selain hukuman pidana pokok, KPK juga fokus pada optimalisasi asset recovery sebagai upaya pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi yang dinikmati para koruptor. Dengan pemidanaan badan serta pemidanaan uang pengganti dan denda, KPK berharap akan menimbulkan efek jera.

"KPK berharap agar setiap hukuman pokok dan tambahan kepada para pelaku korupsi ini bisa memberikan efek jera dengan tetap menjunjung azas keadilan hukum," kata Ali. Proses penegakan hukum ini sekaligus menjadi pembelajaran bagi publik agar kejahatan serupa tak terulang. ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat