unescoworldheritagesites.com

KPK Dukung Jaksa Agung Tuntut Terdakwa Korupsi Kakap Pidana Mati - News

penggerogot keuangan negara

JAKARTA:  Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mendukung Jaksa Agung ST Burhanuddin jika benar-benar menuntut mati terdakwa korupsi kelas kakap. Langkah Jaksa Agung itu dinilai memberikan rasa keadilan, terutama dalam perkara korupsi yang berdampak luas seperti kasus PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri yang ditangani Kejaksaan Agung.

"Saya dukung gagasan Jaksa Agung tentang rencana untuk mengkaji hukuman mati pelaku korupsi," ujar Firli Bahuri, Jumat (29/10/2021).

Ancaman hukuman mati bagi koruptor diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penerapan pasal itu sulit diwujudkan karena mensyaratkan adanya kondisi tertentu seperti bencana alam, keadaan krisis, atau pengulangan tindak pidana korupsi.

Karena itu, Firli Bahuri memandang perlu untuk memperluas ketentuan ancaman hukuman mati, yakni tidak sebatas diberlakukan dalam kondisi tertentu sebagaimana bunyi pasal yang ada.

Pakar hukum Bivitri Susanti mengingatkan agar isu hukuman mati bagi koruptor bukan sekadar gimmick atau pemanis semata. "Janganlah menjadikan isu hukuman mati untuk koruptor ini sekadar gimmick atau pemanis," kata Bivitri, Jumat (29/10/2021).

Dia menilai, jika aparat hukum peduli dengan korupsi, maka ada baiknya mereka lebih fokus ke penegakkan hukum acaranya. Dengan demikian, maka para pelaku korupsi itu pun dapat tertangani dengan maksimal dari berbagai sisi. “Peduli soal korupsi, lebih baik semua aparat penegak hukum berfokus pada penegakan hukum acaranya supaya semua koruptor bisa ditangani dengan maksimal, mempelajari soal pola penghukuman dan efek jera, serta pengawasan eksekusi hukuman," ujarnya.

Meski begitu, dirinya mengapresiasi semangat pemberantasan korupsi dengan menuntut pidana mati. Namun dia mengingatkan bahwa hukuman mati memiliki esensi melanggar hak asasi manusia (HAM). “Banyak sekali potensi kesalahan dalam hukum acara maupun dalam penerapan hukum yang sudah tidak lagi bisa dikoreksi bila seorang terpidana dihukum mati," tuturnya.

Hukuman mati, menurutnya, mengandung berbagai kelemahan. Apalagi pendekatan penghukuman saat ini dinilainya bukan pendekatan pembalasan, melainkan efek jera.  "Khusus tindak pidana korupsi juga soal pemulihan aset atau kekayaan negara," katanya.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan korupsi tidak bisa disamakan dengan kasus lain karena termasuk kejahatan luar biasa. Kejahatan khusus harus mendapatkan tindakan khusus. Di mana-mana terhadap kejahatan luar biasa juga diberlakukan beda.

Kejahatan korupsi sekarang ini kian banyak karena ancamannya tidak menakutkan. Belum lagi dengan dibatalkannya PP pengetatan pemberian remisi oleh MA, maka bukan tidak mungkin semakin ramai orang korupsi.***
 

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat