unescoworldheritagesites.com

Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman Soroti Program Makan Siang Gratis Ala Prabowo-Gibran, Ajak Publik Berfikir Objektif - News

Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman dan PPI Berlin-Brandenburg mengadakan diskusi kebijakan publik rutin bertajuk “Forum PPI Jerman” di Berlin yang masih menyoroti Program Makan Siang Gratis Ala Prabowo-Gibran (AG Sofyan)

: Terpilihnya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam ajang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 memantik sebuah diskusi berkepanjangan tentang bagaimana program “Makan Siang Gratis” akan dilaksanakan. 
 
Pelbagai pertanyaan mulai dari alokasi anggaran program, jumlah anggaran program yang fantastis, hingga kapasitas produksi pangan nasional yang belum memadai mulaioo bermunculan seiring diskusi mengenai program tersebut bergulir di sidang kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin. 
 
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, puluhan mahasiswa Indonesia diaspora di Jerman yang tergabung pada Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman dan PPI Berlin-Brandenburg mengadakan diskusi kebijakan publik rutin bertajuk “Forum PPI Jerman” di Berlin, Sabtu (13/4/2024). 
 
 
Bertempat di gedung utama Technical University of Berlin, Forum PPI Jerman yang ke-9 tersebut dihadiri secara online oleh tiga narasumber yang merupakan ahli ekonomi pertanian, ahli demografi, serta ahli kebijakan fiskal, dan mengusung tema besar “Menyingkap Program Makan Siang Gratis” ketiga aspek tersebut. 
 
“Ungkapan Milton Friedman, there is no such thing as a free lunch, menjadi pertanyaan dasar yang kami angkat, supaya menjadi jelas seberapa besar biaya dan upaya yang harus dikeluarkan pemerintahan selanjutnya untuk merealisasikan program ini," ujar Hessel Juliust selaku Ketua Forum PPI Jerman kepada , Jumat (19/4/2024). 
 
Program Makan Siang Gratis yang dicanangkan, direncanakan, dan saat ini sedang diujicobakan di wilayah Sukabumi oleh Tim Ahli Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran merupakan program utama pembangunan manusia yang digadang-gadang akan menelan biaya Rp400 Triliun. 
 
 
Anggaran super jumbo tersebut dituturkan oleh pelbagai politisi yang tergabung pada TKN dan menimbulkan kontroversi publik semenjak masa kampanye. 
 
“Kami ingin mencoba mengajak publik untuk membahas rencana kebijakan yang kontroversial ini secara objektif,” ungkap Kepala Departemen Riset dan Kajian Strategis PPI Jerman, Geraldus Martimbang. 
 
Mengapa hal ini menjadi concern untuk dikupas. Menurut Geraldus, pada dasarnya kebijakan makan siang gratis, atau universal free meals, merupakan instrumen kebijakan yang telah diterapkan pelbagai negara. 
 
 
Yang membedakan, selain dari urusan teknis pengadaan, adalah target capaian kebijakan, penerima manfaat, skala program, dan besaran pembiayaannya. 
 
Sementara itu dalam konteks Indonesia, panelis Dian Yuanita Wulandari sebagai Peneliti dan Pemerhati Sosial Ekonomi Pertanian, menekankan latar belakang tingginya angka stunting di Indonesia yang dialami oleh hampir sepertiga, 31%, dari seluruh anak Indonesia. 
 
Sehingga, program Makan Siang Gratis dapat menjadi salah satu instrumen kebijakan yang dapat berkontribusi untuk menurunkannya. 
 
Namun, dia juga menyoroti tingginya angka impor pangan di Indonesia, misalnya beras, sayur, dan buah-buahan, juga fakta bahwa 80% supply susu di Indonesia bergantung pada impor. 
 
 
Dalam Forum Perhimpunan Pelajar Indonesia Jerman (PPIJ) seri kesembilan menghelat diskusi hybrid kebijakan publik secara  rutin bertajuk
Dalam Forum Perhimpunan Pelajar Indonesia Jerman (PPIJ) seri kesembilan menghelat diskusi hybrid kebijakan publik secara rutin bertajuk (AG Sofyan)
Peningkatan konsumsi akibat program Makan Siang Gratis tentunya akan semakin meningkatkan impor, yang tidak sejalan dengan visi kemandirian pangan yang dicita-citakan Indonesia sejak lama. 
 
Kurangi Pembiayaan Program-program Pemerintah 
 
Dari sisi logistik, panelis I Dewa Gede Karma Wisana, Ph.D, selaku Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menekankan potensi kesulitan pengadaan pada daerah-daerah dengan tidak memadainya infrastruktur dan kondisi geografis yang menantang. 
 
"Di Sukabumi, yang sedang diujikan, biaya per porsi berkisar Rp16 Ribu dan karena sekolahnya ada di atas bukit dan dapurnya ada agak jauh di bawah, akhirnya anak-anak yang harus ikut membawa makanannya sendiri,” tuturnya, menyoroti detil-detil teknis yang bila tidak dirancang masak-masak justru akan merugikan peserta didik. 
 
 
Penyediaan basis data yang kuat atas ketersediaan bahan pangan juga harus didorong dan dibarengi dengan pelibatan lembaga-lembaga riset pangan di daerah, yang dekat di lapangan dan mengerti mengenai kekhususan kondisi pangan tiap daerah.
 
Persoalan “skala program” dan bagaimana “memulai” program yang diwacanakan menjadi sangat masif ini juga menjadi sorotan bahasan akibat kapasitas pembiayaan di Indonesia yang terbatas. 
 
“Kita harus sadar, bahwa makan siang gratis ini tidak gratis 100 persen,” beber panelis Akhmad Akbar Susamto, Ph.D selaku Direktur Riset Core Indonesia.
 
 Dengan hanya 28% belanja “diskresioner” dari APBN 2024, maka program Makan Siang Gratis hanya dapat dibiayai dengan mengurangi pembiayaan program-program pemerintah yang sudah ada atau dengan hutang luar negeri. 
 
 
Akhmad Akbar Susamto menyoroti besarnya cicilan bunga hutang Indonesia yang sudah mencapai hampir Rp500 Triliun per tahunnya dan menyarankan untuk tidak menambah beban hutang yang sudah tinggi rasionya terhadap penerimaan negara.
 
“Semua bergantung pada skala pelaksanaan program dan  menekankan bahwa penyediaan Rp400 Triliun untuk skala penuh program sulit dicapai," terangnya. 
 
Forum PPI Jerman semenjak diinisiasi kelahirannya tahun 2021 berusaha menghadirkan panelis maupun aktor-aktor pembuat kebijakan publik dan memantik pertukaran gagasan antar panelis dan mahasiswa diaspora.
 
 
"Mahasiswa-mahasiswa di Jerman, meskipun jauh dari tanah air, kami harapkan untuk ikut aktif dalam membahas pelbagai isu serius, yang terkait dengan arah pembangunan di Indonesia,” tutur Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPI Jerman yang akrab disapa Taqi. 
 
Agnia Dewi Larasati selalu Ketua Umum PPI Jerman perempuan pertama juga menambahkan bahwa Perhimpunan Pelajar Indonesia di luar negeri secara historis juga selalu berpartisipasi aktif dalam pembangunan di Indonesia, yang telah ditunjukkan dan diiteladankan oleh banyak founding fathers Indonesia persis seabad lalu di Belanda.
 
"Sehingga, kami ingin meneruskan legacy dan tradisi itu," pungkasnya. ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat