unescoworldheritagesites.com

Sjamsul Nursalim Bakal Diadili Secara In Absentia? - News

Sjamsul Nursalim

JAKARTA:  Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK bakal menyidangkan secara in absentia  atau  tanpa kehadiran terdakwa pengusaha Sjamsul Nursalim. Langkah ini ditempuh untuk menarik aset yang dimiliki Sjamsul yang diperoleh dari Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata membenarkan bakal ditempuh upaya sidang in absentia tersebut. "Betul, tujuannya untuk menarik aset yang di Indonesia," ujar Alex di Jakarta, Senin (3/6/2019).

Kasus BLBI baru menjerat satu orang, yakni mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Dia divonis hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp1 miliar subsidair tiga bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI dalam putusan banding.

 Menurut hakim, Syafruddin telah melakukan penghapusan buku secara sepihak terhadap utang pemilik saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim tahun 2004. Sjamsul pun menerima SKL BLBI.

KPK sendiri telah beberapa kali memanggil taipan pemegang saham sejumlah perusahaan itu. Namun ia mangkir dari pemeriksaan. Pria berusia 78 tahun itu saat ini telah menetap di Singapura. Dari hasil gelar perkara atas pengembangan perkara Syafruddin Arsyad Temenggung yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht, KPK pun menaikan kasus Sjamsul Nursalim ini ke penyidikan. "Sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan," kata Alex.

Meski saat ini Sjamsul  berada di Singapura, proses hukum terhadap Sjamsul masih tetap bisa dilakukan. KPK, kata Alexander, membuka kemungkinan untuk menempuh pengadilan in absentia. Pengadilan in absentia adalah upaya mengadili seseorang dan menghukumnya tanpa dihadiri terdakwa. Untuk mekanismenya, KPK telah meminta pendapat sejumlah ahli. Sebelum disidang, KPK akan mengumumkan undangan kepada Sjamsul untuk menghadiri persidangan melalui media massa.

Upaya ini, kata Alex, akan dilakukan apabila Sjamsul terus menerus mangkir dari panggilan pemeriksaan atau jika kelak perkaranya disidangkan"Kalau yang bersangkutan dipanggil enggak hadir entah karena kesehatan, karena usia dan itu kan dimungkinkan dalam hukum acara pidana disidangkan dengan cara in absentia," katanya.

Berdasarkan audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan dikuatkan pengadilan dalam putusan terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung, penerbitan SKL BLBI kepada BDNI menguntungkan Sjamsul Nursalim dan merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Sjamsul sendiri masih memiliki aset dan bisnis yang berjalan di Indonesia. Salah satunya, PT Gajah Tunggal. Perusahaan ini memproduksi dan memasarkan ban dengan merek Zeneos dan GT Radial.

Perusahaan ini juga memiliki sejumlah anak usaha di antaranya PT Softex Indonesia (pembalut wanita), PT Filamendo Sakti (produsen benang), dan PT Dipasena Citra Darmadja (tambak udang, sewa gudang).

Sjamsul pun memiliki saham di Polychem Indonesia dan sejumlah usaha ritel yang menaungi beberapa merek ternama seperti Sogo, Zara, Sport Station, Starbucks, hingga Burger King. Hanya saja, kata Alexander, pihaknya  belum belum mau membeberkan aset apa saja milik Sjamsul yang diduga terkait dan diperoleh dari kasus SKL BLBI.  "Sedang dilakukan pelacakan oleh Labuksi (Unit Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi KPK). Itu kan di KPK untuk pelacakan aset dalam rangka pengembalian negara itu kan Labuksi, saya rasa itu sudah berjalan juga," katanya.

Menanggapi statement KPKI, pakar hukum pidana Otto Hasibuan menyatakan tidak ada relevansinya antara kasus pemberian SKL BLBI yang dikeluarkan oleh mantan Kepala BPPN  Syafruddin Arsyad Temenggung dengan Sjamsul Nursalim. Sjamsul selaku pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) dijerat dengan kasus korupsi atas penerbitan ‎SKL Bantuan BLBI.

Menurutnya, penyelesaian BLBI yang melibatkan SN sudah selesai pada tahun 1998 sesuai perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA). Bahkan hal tersebut telah ditegaskan pemerintah dalam akta notaris yang dibuat sekitar Mei 1998. Sementara SKL yang diterbitkan oleh SAT hanya penegasan di tahun 2004. "Kalau mau dihubungkan dengan Sjamsul  secara hukum kasusnya sudah kadaluwarsa.

Otto menyebutkan, terkait soal aset BLBI yang dikelola oleh perusahaan pengelola aset yang menjual tagihan hutang petambak pada tahun 2007 tidak bisa mempersalahkan Sjamsul. Sebab, segala kewajiban Sjamsul  telah diselesaikan tahun 1998. "Dengan dikeluarkannya MSAA, segala kewajiban sudah diselesaikan Sjamsul  dan pemerintah sudah memberikan jaminan tidak akan menyelidiki dan menuntut Sjamsul secara pidana," ujarnya. ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat