unescoworldheritagesites.com

Wartawan Pun Tolak SEMA Larangan Foto Dan Rekam - News

MA

 

JAKARTA: Sejumlah wartawan yang sehari-hari meliput persidangan di pengadilan memprotes  Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) mengatur pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin ketua pengadilan setempat. SEMA tersebut dinilai semakin mempersempit bahkan menutup akses wartawan untuk meliput perrsidangan. Dengan ZI, WBK dan WBBM saja wartawan sudah merasakan sulitnya mencari berita di pengadilan, apalagi dengan ditambah SEMA.

“Sekalian saja kayak sidang susila, tertutup, biar bisa bebas melarikan arah persidangan itu ke mana maunya pihak-pihak,” keluh salah seeorang wartawan peliput siddang-sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (8/2/2020)

SEMA tersebut mengatur pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV yang harus seizin ketua pengadilan setempat. Aturan yang tertuang dengan nomor 2 tahun 2020 mengenai tata tertib menghadiri persidangan dan ditandtangani Direktur Jenderal Badan Peradilan Hukum Pim Haryadi tanggal 7 Februari 2020 dinilai kalangan wartawan mempersulit pelaksanaan tugas-tugasnya bahkan mengancam kebebasan pers.

"Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menilai aturan tersebut bertolak belakang dengan semangat kebebasan pers," kata Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta, Erick Tanjung di Jakarta, Kamis (27/2).

Aturan itu dinilai melanggar Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 4 ayat 3 tentang menjamin kemerdekaan pers serta mendapatkan perlindungan hukum saat menjalankan profesinya. Apalagi dalam SEMA tersebut terdapat pula poin mengenai pemidanaan bagi orang yang melanggar tata tertib menghadiri persidangan.

Pada poin 9 dan 12 SEMA itu mengenai tata tertib menghadiri persidangan disebutkan ”dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud pada angka 7 bersifat suatu tindakan pidana, akan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya”.

"MA telah melampaui kewenangannya, karena penegakan aturan memfoto dan merekam di ruang sidang dengan ancaman pidana tidak pada tempatnya dicantumkan dalam SEMA. Sebab ranah pidana diatur dalam undang-undang, bukan SEMA," kata Erick.

Dia juga menyebutkan, penegakan aturan di ruang sidang seharusnya tidak langsung menggunakan ancaman pidana, tetapi melalui tahapan peringatan. Mulai dari peringatan ringan, sedang, hingga berat. Erick menilai aturan main dalam SEMA itu bertabrakan dengan Pasal 153 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur bahwa sidang terbuka untuk umum, kecuali pidana anak, susila, atau dalam ranah hukum keluarga. Pasal itu mengatur bahwa persidangan terbuka untuk umum, kegiatan memfoto, merekam, dan meliput tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang. "Atas aturan SEMA itu, ketua pengadilan dan birokrasinya bukan tidak mungkin akan dengan mudah menolak permohonan izin dengan berbagai alasan dan kepentingan tertentu," tuturnya.

Tidak itu saja, larangan memakai sandal jepit dan celana pendek dalam SEMA dianggap tidak menghargai keberagaman di Indonesia. Hal ini tentu menyulitkan masyarakat adat yang hendak memberi dukungan kepada warga/keluarganya di persidangan. AJI menolak larangan memfoto, merekam, dan meliput persidangan tanpa izin ketua pengadilan tersebut. Bahkan mendesak MA agar segera mencabut larangan memfoto dan merekam tanpa izin ketua pengadilan sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 2 tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan.

Mahkamah Agung (MA) menerbitkan SEMA nomor 2 tahun 2020 mengenai tata tertib menghadiri persidangan. Ada 12 poin dalam surat di tandatangani Direktur Jenderal Badan Peradilan Hukum Pim Haryadi tanggal 7 Februari 2020.  Salah satu poin yang terdapat dalam poin ketiga mengatur adanya pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin ketua pengadilan setempat.

Menanggapi protes para jurnalis, Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro mengatakan larangan memfoto dan merekam persidangan di pengadilan negeri tanpa seizin ketua pengadilan negeri bertujuan untuk menjaga ketertiban selama sidang berlangsung. "Kami memaknai untuk menjaga ketertiban. Kami belum ada suatu ketentuan umum, tetapi itu maksudnya ketua majelis dalam rangka menjaga kelancaran persidangan saja," ujar Andi. Dia mengakui aturan tersebut menghalangi kerja jurnalistik, tetapi tidak semua persidangan dinyatakan tertutup untuk umum.

Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah menambahkan larangan memfoto dan merekam sidang tanpa persetujuan ketua pengadilan negeri karena sidang merupakan prosesi sakral, bukan untuk tontonan. Dia mengingatkan pewarta yang ingin memfoto dan merekam untuk melapor dan meminta izin terlebih dulu. Selain itu, selama persidangan harus menjaga ketertiban. "Sidang itu sakral, tidak boleh mengganggu jalannya persidangan," kata Abdullah.

Selama ini tidaklah sedikit hakim yang justru merasa senang jika sidangnya diliput wartawan. Bahkan hakim bersangkutan begitu bersemangat menggali fakta-fakta sidang demi kebenaran dan keadilan dengan harapan beritanya dipublikasikan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat